Kupang, KN – ICRAF atau International Centre for Research in Agroforestry menggandeng pemerintah Provinsi NTT menggelar Lokakarya pada Rabu 15 Maret 2023.
Lokakarya yang dilaksanakan di Aula Bappedalitbangda Provinsi NTT ini bertujuan untuk membahas pendanaan guna mengatasi krisis iklim di NTT.
Plt. Kepala Bappeda Provinsi NTT Alfonsus Theodorus mengatakan, perubahan iklim menjadi tantangan dunia yang harus segera diatasi.
Namun saat ini anggaran pemerintah Provinsi NTT terbatas untuk pembiayaan tertentu, sehingga kerja sama dengan badan usaha merupakan skema terbaik dengan melibatkan non pemerintah melalui pendanaan CSR.
“Kita sudah lakukan dengan teman-teman di weather.org. Itu kita kerja sama dengan Bank NTT untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga Rp0, untuk menyelesaikan persoalan air dan sanitasi yang ada di masyarakat setempat,” ujar Alfonsius, dalam sambutannya saat membuka kegiatan Lokakarya di Aula Bappelitbangda Provinsi NTT.
Menurut dia, persoalan yang paling utama di NTT adalah letak geografis, karena penduduknya tinggal berpencar dengan jarak yang cukup jauh, sehingga perlu biaya yang besar untuk membangun saluran irigasi air.
“Kita sudah melakukan langkah-langkah strategis untuk mendorong pembangunan infrastruktur di 4 Kabupaten. Kita dorong juga pamsimas dikreasikan kembali di daerah-daerah,” jelasnya.
Ia berharap dalam skema pembiayaan yang akan dibangun bisa menjawab permasalahan perubahan iklim di NTT.
“Kita mampu meramu bagaimana perubahan iklim mendorong masyarakat agar punya mata pencarian, dan mampu bekerja menanam tanaman holtikultura sesuai dengan skema-skema perhutanan,” tandasnya.
Sementara itu, Peneliti Senior World Agroforestry ICRAF Beria Leimona PhD mengatakan, pertemuan hari ini membahas skema-skema pendanaan dan pembiyaan untuk mengatasi perubahan iklim di NTT.
Menurutnya, isu perubahan iklim menjadi fokus utama yang dibahas oleh ICRAF bersama pemerintah Provinsi NTT dalam hal ini Bappedalitbangda Provinsi NTT, karena perubahan iklim bisa menyebabkan bencana, termasuk longsor dan banjir.
Ia menjelaskan, sebenarnya banyak sekali program bagaimana pemerintah dan masyarakat bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim. Seperti cara mengatasi banjir dengan membangun rumah yang memiliki fondasi yang tinggi.
Namun pembiayaan seperti ini lebih banyak didanai oleh pemerintah, dengan dana yang terbatas. Karena itu, ICRAF dan Pemprov NTT mengadakan Lokakarya untuk mencari opsi pendanaan mengatasi krisis iklim, di luar dana yang dianggarkan oleh pemerintah.
“Tadi kami mengundang narasumber dari Badan Pengelolah Dana Lingkungan Hidup Nasional. Pak Muskan dari BPDLH menyebutkan banyak sekali opsi-opsi pendanaan di tingkat nasional yang bisa diakses oleh Pemda, kelompok masyarakat, Koperasi, dan masyarakat,” jelas Beria Leimona kepada wartawan.
Ia menuturkan, dengan penjelasan dari BPDLH, maka ICRAF dan Pemprov NTT akan mengupayakan, agar kelompok masyarakat di NTT bisa mengakses dana-dana yang ada di tingkat nasional tersebut.
“NTT memang dari sisi perubahan iklim sangat rawan. Tentunya ada komitmen untuk membantu Pemda berkolaborasi untuk kita fasilitasi bersama. Saya amati sebenarnya pendanaan dari luar banyak, tapi kadang kala sulit untuk diakses,” ungkapnya.
Beria berharap, Pemda dalam hal ini Bappedalitbangda Provinsi NTT terus aktif menyuarakan krisis iklim, dan membantu memfasilitasi masyarakat untuk mendapat pendanaan dari pusat.
Meski demikian, ia mengakui saat ini banyak masyarakat yang belum tahu cara membangun bisnis dan mengakses dana dari pusat.
Karena itu, masyarakat perlu dipersiapkan untuk bergabung ke dalam lembaga di Desa, dan Koperasi, serta memiliki rencana kerja, memiliki modal bisnis, dan melaporkan penggunaan dana secara sistematis.
“Kami dari ICRAF mengusung program bernama Land4Live. Kami berharap bahwa dengan adanya Land4Live ini, bisa bersama-sama Pemda dan rekan-rekan NGO, dan swasta bisa membantu memfasilitasi masyarakat, kelompok perhutanan sosial, dan masyarakat adat bisa mengakses pendanaan untuk mengatasi perubahan iklim,” tandasnya. (*)