Opini  

Kearifan Lokal Masyarakat Adat Indonesia Dalam Menyambut Tahun Baru Masehi

Upacara Reba (Foto: Antara)

Oleh: Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum

Merayakan momen pergantian tahun selalu dimaknai sebagai peristiwa penting budaya. Selalu ada ritual atau tradisi perayaan khusus untuk menyambut datangnya tahun baru. Seperti halnya menyambut tahun baru masehi, akan banyak perayaan yang digelar masyarakat di berbagai negara, sesuai dengan kearifan lokal masing-masing.
Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya dan nilai-nilai yang dipercayai oleh masyarakat, juga mempunyai kekhasan dalam menyambut pergantian tahun masehi. Meski modernitas kota mulai menyerbu, beberapa masyarakat adat hingga kini tetap teguh melindungi kearifan lokal tersebut. Mereka tetap menjaga nilai-nilai luhur kehidupan yang diwariskan oleh para pendahulunya.
Ritual-ritual tersebut tentunya kaya akan nilai historis dan filosofi yang sangat kental. Yang lebih menarik, pergantian tahun sejatinya bukan ajang pesta dan hura hura, namun masyarakat adat tersebut lebih memaknainya dengan penghayatan, prihatin, dan sarat nilai religi.

Upacara Reba

Kata reba lahir dari kelompok masyarakat adat Ngada di Nusa Tenggara Timur yang berarti Pesta. Upacara adat Reba di Kabupaten Ngada Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu upacara adat yang dilaksanakan untuk menyambut tahun baru secara adat. Upacara ini memiliki tujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan atas apa yang telah didapatkan di tahun sebelumnya.

Reba dirayakan setahun sekali pada bulan Januari atau Februari tergantung petunjuk ‘kepo wesu’atau pemegang adat yang menentukan masa perayaannya. Ubi menjadi hidangan utama dalam upacara adat ini. Bagi orang Ngada, uwi (ubi) adalah makanan yang mulia, luhur dan sangat dihormati karena leluhur mereka berjuang dalam pengembaraan menuju lembah, bukit dan pegunungan dari Lepelapu, Aimere dengan bermodalkan ubi.

Walaupun saat ini orang Ngada sudah mengenal nasi untuk menu makanan dalam keluarga, namun, sesungguhnya makanan pokok orang Ngada adalah ubi. Dengan adanya ubi sebagai sumber makanan yang tidak akan habis disediakan oleh bumi manusia, diharapkan masyarakat Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan.

Yang menarik, Reba tidak saja menjadi kesempatan istimewa bagi orang Ngada untuk berkumpul dalam rumah adat masing-masing. Reba juga menjadi kesempatan berahmat karena segala permusuhan, perselisihan dalam keluarga harus berakhir saat itu juga. Ritual adat ini merupakan pemulihan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, alam dan leluhur serta membangun kembali persaudaraan diantara keluarga dan sesama seluruh masyarakat Ngada.

Lewat Reba, manusia seperti ‘terlahir baru’. Baru dalam sikap, tutur kata dan perbuatan. Sebab dalam pesta Reba, anak-anak generasi baru selalu diingatkan akan Pata Dela (Suara Leluhur).

“Dewa zeta nitu zale (percaya pada Tuhan YME). Bhodha molo ngata go kita ata (menaruh hormat pada kemanusiaan). Dhepo da be’o, tedu da bepu (meneladani para pendahulu). Dhuzu punu ne’e nama raka (belajar dan bekerja sampai tuntas). Dua wi uma nuka wi sa’o (pergi ke kebun dan kembali ke rumah; cari pekerjaan yang baik, sehingga bisa kembali ke rumah dengan selamat)”.

“Modhe-modhe ne’e soga woe, meku ne’e doa delu (berbuat baik dengan sahabat). Maku ne’e da fai walu, kago ne’e da ana salo (bersimpati dengan para janda dan anak yatim piatu; bersimpati dengan kaum miskin dan terlantar). Go ngata go ngata, go tenge go tenge (milik orang lain, biarlah menjadi milik orang lain; akuilah milik orang lain; jangan serakah). Kedhu sebu pusi sebu (mengutamakan nilai-nilai luhur). Bugu kungu nee uri logo (tekun bekerja dan menikmati keringat sendiri)”.

Ritual Adat Ma`Mapas Lewu, Ma`arak Sahur, dan Palus Mangantung Sahur Lewu
Ritual adat setiap menjelang pergantian tahun masyarakat Suku Dayak beragama Hindu Kaharingan yaitu ritual adat Ma`Mapas Lewu, Ma`arak Sahur, dan Palus Mangantung Sahur Lewu. Rangkaian upacara ini sebagai upaya membersihkan diri dari segala bentuk perasaan yang mengotori hati dan pikiran menjelang tahun baru.

Ritual yang digelar rutin tiap tahun ini untuk memulihkan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam sekitar agar terhindar dari marabahaya dan malapetaka. Acara ini juga untuk menjalin silaturahmi antarsesama warga sekaligus merupakan perwujudan dari kerukunan antar umat beragama.

Ritual Ma`mapas Lewu memiliki arti membersihkan wilayah atau daerah dari pengaruh atau perbuatan jahat dan buruk. Baik yang dilakukan oleh manusia maupun roh jahat (gaib) terhadap kehidupan diri dan lingkungan.

BACA JUGA:  Vitamin Jiwa Stoik Sang Tukang Lobi

Sedangkan ritual Ma`arak Sahur sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, Sahur Parapah, Antang Patahu dan leluhur yang telah memberikan perlindungan, kesehatan dan kekuatan.

Sementara ritual Mangantung Sahur Lewu sebagai permohonan kepada Yang Maha Kuasa, Sahur Parapah, Antang Patahu serta leluhur agar Kalimantan Tengah selalu dijaga dan dilindungi. Dilindungi di sini memiliki arti terhindar dari hal-hal yang buruk, baik yang dilakukan oleh manusia atau pun oleh roh-roh jahat.

Kegiatan tersebut diisi dengan berbagai ritual adat Dayak Kalimantan tengah yang dilaksanakan oleh para Basir/ Balian yaitu orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk berhubungan dengan roh-roh gaib penjaga alam, yang menurut keyakinan adalah sebagai pelindung yang mampu berkomunikasi dengan roh-roh gaib menggunakan bahasa Sangiang.

Pelaksanaan upacara adat Mamapas Lewu ini melalui 10 tahap/proses yang dilaksanakan secara urut yaitu Acara Basir Balian Mandurut Sangiang; Acara Basir Balian Manantan Dahiang Baya; Sial Pali Seluruh Kota Palangka Raya; Acara Penyembelihan Hewan Kurban; Acara Menurunkan Pinggan Sahur; Acara Pemberian Penginan Sukup Simpan dilanjutkan dengan Pakanan Sahur Lewu; Acara Mimbul Kuluk Metu (Penanaman hewan kurban); Acara Balian Karunya; Acara pabuli Sangiang.

Upacara Adat Tulude

Di penghujung tahun atau di tahun baru, warga Sangihe Talaud yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara selalu menggelar upacara adat Tulude. Dalam bahasa Sangihe, tulude berasal dari kata Suhude yang artinya tolak. Tulude dimaknai sebagai penolakan terhadap tahun yang lama atau menolak meratapi kehidupan di tahun sebelumnya dan kesiapan untuk menerima tahun baru.

Tulude secara hakikat merupakan bentuk pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan Yang Maha Kuasa) atas berkatnya selama setahun yang telah berlalu. Warisan budaya Tulude ini penuh makna dan sarat-sarat nilai keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa.

Upacara adat Tulude dilaksanakan sejak abad XVI dan hingga kini masih tetap dilestarikan. Mulanya upacara ini dilaksanakan pada 31 Desember alias di penghujung tahun. Namun, seiring berkembangnya zaman, waktu pelaksanaannya diubah menjadi di akhir Januari di tahun selanjutnya.

Sebelum acara puncak Tulude, yakni pada dua minggu sebelumnya, ada kegiatan melepas bininta (perahu kecil) ke tengah laut. Perahu tersebut berisi berbagai benda sebagai wujud persembahan pada Tuhan. Kegiatan ini bermakna membuang segala hal buruk di tahun lama dan mengucap syukur atas datangnya tahun baru.

Apabila perahu tersebut dibawa arus laut dan terdampar di pantai atau desa tetangga, maka orang yang menemukannya wajib menolak dan menghanyutkannya kembali ke laut. Jika tidak, konon, hal buruk yang menimpa warga pertama kali melepas perahu tersebut akan berbalik menimpa warga yang tinggal di tempat perahu tersebut terdampar.

Setelah pelepasan perahu ke laut, tahap berikutnya dalam upacara Tulude adalah membuat kue tamo di rumah tokoh adat. Ini dilakukan sehari sebelum acara puncak. Bahan pembuatan kue tamo adalah beras ketan, gula merah, minyak kelapa, bubuk kayu manis, papaya, kelapa muda, dan pisang raja.

Waktu pelaksanaan upacara adat Tulude adalah sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam. Waktu 4 jam ini dihitung mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena upacara. Selama perarakan, penonton dihibur dengan penampilan tarian tradisional dan kelompok musik. Selanjutnya, kue akan dipotong dan dilanjutkan dengan pesta rakyat sebagai prosesi akhir.

Ritual adat Tulude menjadi momentum untuk mengucap syukur dan merekatkan kerukunan yang berujung kepada kesejahteraan masyarakat.

Dari ulasan mengenai berbagai ritual adat menyambut tahun baru tersebut, terungkap adanya makna yang penuh nilai dan filosofi. Perayaan tahun baru bagi suku tertentu adalah ritual simbolis yang sangat diyakini oleh pemeluknya, yang dapat memberi berkah dan kebahagiaan pada tahun mendatang dan atas segala harapan. Aktualisasi nilai- nilai religi dan kebijaksanaan hidup di dalamnya mengajarkan pemahaman terhadap hubungan Tuhan dengan manusia dan alam sekitarnya. Inilah refleksi tahun baru yang sesungguhnya, bukan sekadar diekspresikan dengan cara-cara gempita. Namun harus menjadi momentum bagi perjalanan hidup yang lebih bermakna. (*)