Kupang, KN – Sidang kasus status kewarganegaraan Bupati Sabu Raijua terpilih, Orient Riwu Kore terus bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang pemeriksaan perkara yang digelar, Selasa (6/4/20201), kuasa hukum pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Nikodemus dan Yohanis menghadirkan saksi ahli, Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum.
Dalam keterangannya sesuai rilis yang diterima media ini, Margarito mengatakan sesuai esensi pasal 1 ayat (2) dan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, Siapapun orangnya, yang tidak berstatus warga negara, untuk alasan apapun, secara konstitusional tidak memiliki kapasitas konstitusional sebagai subyek pemegang kedaulatan rakyat.
Akibatnya, dengan alasan apapun, orang tersebut tidak memiliki kualifikasi konstitusional sebagai subyek hukum membentuk dan/atau menjalankan pemerintahan, baik nasional maupun lokal.
Menurut dia, secara hukum, warga negara asing tidak pernah dimaksudkan
secara konstitusional sebagai subyek dalam pengisian jabatan kepala daerah,
melalui pemilihan langsung atau tidak langsung.
Warga negara adalah hal hukum utama, atribut konstitusional mutlak, karena darinya mengalir atau melahirkan hak membentuk atau menjalankan pemerintahan.
Tidak adanya kapsitas konstitusional sebagai subyek pemilihan kepala daerah, mengakibatkan, dalam sifat konsekuensialnya, tidak ada hukum hukum yang “mengabsahkan” pencalonannya. Dengan kata lain, calon tersebut, demi hukum, harus dianggap tidak pernah ada.
Bagaimana bila dalam kenyataannya, pesangan calon kepala daerah, sebut
saja wakilnya adalah warga negara Indonesia, terlepas dari sebab adanya
kewarganegaraan itu.
Apakah yang bersangkutan juga sah dinyatakan tidak memenuhi syarat? Ia berpendapat positif, tidak memenuhi syarat, dengan dua alasan. Pertama, hukum pemilihan kepala daerah dibangun diatas postulat calon kepala daerah harus berpasangan. Keduanya merupakan satu kesatuan hukum dan administrasi. Hukumnya manakala satu calon dalam pasangan itu tidak lagi memenuhi syarat, maka pencalonan keduanya harus, demi hukum, dianggap tidak pernah ada.
Kedua, jangkauan konsekuensi ini, tidak dapat dibatasi dengan argumentasi
yang ditarik dari kenyataan perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, sehingga
tanggung jawab dan akibat yang ditimbulkannya tidak dapat dipikulkan atau
Argumen-argumen itu menyimpulkan, tidak ada pemecahan konstitusional, untuk menerima warga negara asing, jangankan menjadi kepala daerah, calon kepala daerah pun tidak sah. UUD 1945 tidak menunjuk orang asing sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
“Tidak ada kedaulatan rakyat yang tidak dipertalikan secara hukum dengan hak
membentuk dan menjalankan pemerintahan. Akibat dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki sifat hukum sebagai satu kesatuan hukum, maka konsekuensinya, salah satu di antara kedua orang yang berpasangan itu tidak memenuhi syarat, maka pasangannya juga tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon,” katanya.
Sementara itu, PJ. Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (Konsultan KPU Pusat), Endang Sulastri mengatakan, lolosnya proses pencalonan Orient Riwu Kore karena Bawaslu NTT tidak proaktif melakukan verifikasi.
“Ada orang asing yang daftar di KPU, Bawaslu yang mencurigai, harus melakukan klarifikasi ke yang bersangkutan dan segara merekomendasi ke KPU untuk klarifikasi lebih jauh. Tetapi ini tidak dilakukan. Rekomendasi Bawaslu pasti diikuti oleh KPU. Tetapi, ini Bawaslu malah langsung ke Kedubes,” katanya.
Menurut dia, proses Pemilu harus ada ketelitian. Ketika menemukan suatu kejanggalan, semestinya Bawaslu harus pro aktif melakukan klarifikasi.
“Nasib Orient tergantung hakim MK dengan melihat keterangan saksi saksi ahli. Secara administrasi dia terpenuhi, tapi secara substansi tidak terpenuhi karena dia berkewarganegaraan asing,” katanya.
Terpisah kuasa hukum, pasangan calon bupati dan wakil bupati Nikodemus dan Yohanis, adhitya nasution mengatakan
keterangan saksi ahli, Dr. Margarito menguntungkan pihaknya. Meskipun ada saksi ahli kubu Orient sebelah cenderung mempermasalahkan adanya diskresi pembenaran penetapan cabup Orient.
Keterangan itu telah dibantahkan oleh saksi ahli, Dr Margarito yang menyatakan, diskresi itu tidak dibenarkan dan tidak dapat diaplikasikan di Indonesia. Karena, diskresi tidak bisa melawan UU.
“Kesimpulannya, dari awal Orient tidak terbuka terhadap tim pemenang sendiri yang berakibat fatal,” tutupnya.*