Opini  

Peran Tokoh Agama Dalam Membongkar Eksklusivisme Beragama

Yodan Loni

Penulis: Yodan Loni
Mahasiswa Awam STFK LEDALERO
Semester : VIII Tinggal di Maumere

Perkembangan teknologi, interaksi sosal, politik dan ekonomi yang tak terhindarkan kini telah menghantar manusia pada proses globalisasi. dunia seakan-akan lebih kecil. Benteng-benteng etnis dan budaya lokal runtuh dan orang-orang dapat berinterksi satu sama lain secar bebas dan transparan. Agama-agama dan para tokoh serta penganutnya pun tidak luput dari pengaruh globalisasi. Dalam perjumpaan dan pertemuan dengan orang lain, seseorang tentu membawa serta sejumlah sistem nilai dan keyakinan yang merupakan manifestasi dari ajaran agamanya (Bambang: Wajah Baru Etika, 144). Situasi yang demikian memungkinkan terjadinya kontak dan pertemuan antara penganut dan tokoh agama, sehingga agama-agama dapat saling bertemu dan paham-paham teologi saling berbenturan.

Sejalan dengan proses globalisasi ini, dunia dewasa ini ditandai juga oleh adanya fenomen pluralisme. kehidupan manusia hampir dalam segala aspeknya diwarnai oleh pluralitas, seperti pluralitas pemahaman, dan perspektif, pluralitas budaya, pluralitas kepentingan dan juga pluralitas agama. keanekaragaman agama pada masa kini sungguh telah diterima dan diakui sebagai realitas konkret, demikian juga dengan eksistensi agama-agama dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Walaupun demikian, siapa pun tak bisa mungkin bahwa situasi dunia yang pluralistis telah menghantar agama-agama kepada sikap dan semangat eksklusif. Agama-agama, demi mempertahankan eksistensi, kredibilitas ajaran dan identitasnya, ahkirnya jatuh dalam semangat eksklusivisme. Setiap agama berlomba-lomba dan ingin menjadi penguasa tunggal dengan membentuk suatu dunia mono-religisu yang justru memancing pertikaian dan perpecahan serta konflik-konflik dalam masyarakat.

Pada tataran sosologis, dan krisis yang terjadi dewasa ini ditimbulkan oleh konflik kepentingan, teristimewa di bidang politik, sosial budaya dan ekonomi. namun agama-agama tidak boleh merasa bebas dan mencuci tangan terhadap masalah konflik yang justru bisa ditimbulkan atau disebabkan oleh kepentingan agama itu sendiri. Bila ditelusuri lebih jauh,jaringan kepentingan selalu lahir dari sistem nilai dan keyakinan tertentu. Sistem nilai dan keyakinan tersebut merupakan hasil proyeksi manusia tentang dunia,tentang hidup manusia yang dibangun dan diperoeh dari tradisi-tradisi religius.

Adanya perbedaan cara pandang dan perspektif terhadap suatu realitas, tentang kebenaran dan keyakinan yang dipegang, membawa agama-agama jatuh kepada konflik dan pertentangan. Sejarah agama-agama dalam perkembangannya telah mencatat sejumlah fakta kekerasan,pertikaian dan konflik antara kelompok atau komunitas beragama. Lihat saja kasus yang terjadi di Indonesia seperti kasus Ambon, Tasikmalaya, Sambas dan Kupang. Demi menegakan identitas agama sendiri,agama orang lain lalu dikambing hitamkan dan dijadikan sebagai musuh. Agama-agama pun ahkirnya terlibat dalam aksi saling menggusur, saling menggeser, dan bahkan saling menindas. Inilah wajah paradoksal agama. Yakni bahwa di satu sisi, ia mengangkat martabat manusia ke taraf yang lebih tinggi. Namun di sisi lain, menghancurkan kemanusiaan sesamanya yang beragama lain.

BACA JUGA:  Bom Bunuh Diri Suatu Tindak Kekerasan

Perlu diingat bahwa selain bernuansa Ilahi, agama juga bersifat manusiawi. Ia dibangun dan dibentuk oleh manusia. dengan segala keterbatasannya, manusia mencoba mengungkapkan realitas ilahi yang tak terjangkau dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang dapat ditangkap dan dipahami oleh manusia. Karena itu, agama-agama apa pun tidak bisa merangkum esensi ilahi secara utuh dan lengkap. Agama-agama hanyalah sarana-sarana atau media untuk mencapai realitas ilahi.

Sehubungan dengan tindakan kekerasan insan beragama, Romo Mangun Wijaya mengomentari bahwa kaum beriman masih berada pada tahap to have a religion dan belum pada tahap-tahap to be religion (Armanda Rimanto. Hlm.51).  Itu berarti, orang-orang beriman masih menghayati agama baru pada kulit luarnya dan belum sampai pada inti agama itu sendiri.

Bentuk penghayatan agama yang bersifat eksklusif sering mempersoalkan agama pada tatanan luar menyangkut kebenaran ajaran agama dari pada mengedepankan pengalaman pribadi akan Allah. pengalaman pribadi manusia dalam beragama sangat penting dalam proses pembentukan kesadaran pribadi (inner consciousness). Melalui kesadaran itu, orang lain-entah dari goongan agama mana selalu dipandang dalam bingkai keutuhan ciptaan. Ia mampu mempertahankan orang lain sebagai saudara melampaui batas-batas tembok-tembok priomordial agama dan budaya atau suku. Semua manusia adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Inilah iman unvirsal yang mengakui setiap manusia.

Berhadapan dengan fakta keberagaman dan kecendrungan ekskusivisme agama, setiap tokoh dan umat beriman sungguh ditantang. Agama-agama melaui peran dan keterlibatan para tokohnya, dituntut untuk membangun kehidupan yang baru, yang berorientasi pada pengakuan dan penerimaan akan fakta pluralitas. Yang paling mendesak saat ini adalah membongkar eksklusivisme agama. 

Paul F. Knitter memiliki perspektif yang cukup tajam sehubungan dengan pluralisme. Ia memandang pluralisme sebagai kekuatan yang mengarah kepada kesatuan yang lebih besar, yang banyak sebagai proses menjadi satu namun tetap memiliki identitasnya masing-masing, dalam arti kesatuan itu bukan persatuan yang bersifat monolit absolut.

Penulis memacuh dan menggugah para pembaca untuk lebih beriman secara universal dalam pengalaman keagamaan yang bersifat kategorial. Sadar atau tidak sadar, kita sekarang hidup dalam dunia yang pluralis. Semoga tokoh-tokoh agama dan para penganut tidak lagi berkotak-kotak dan jatuh dalam semangat ekskusivisme.

Baca selanjutnya
Memahami Pluralisme Agama