Oleh: Yohanes A Loni
Mahasiswa STFK Ledalero
Anggota PMKRI
Perbincangan tentang agama dan moral selalu menjadi santapan yang sangat lezat dan gurih di atas ranjang erotika kehidupan. Ada pemahaman yang berkembang luas bahwa moral dan agama seperti dua mempelai yang baru mengikrarkan perjanjian suci. Keduanya ‘bersetubuh’ dan menyatu dalam satu daging seperti tertulis dalam kitab Genesis ‘mereka bukan lagi dua melainkan satu’. Keduanya menyatu, memberi diri dan pada akhirnya melahirkan anak-anak kebajikan menuju tatanan hidup yang lebih bermakna. Tetapi di pihak lain, agama dan moral tidak saling bercumbu bahkan berseteru. Tatanan moral tidak lahir dari rahim agama. Moral melahirkan tindakannya sendiri. Moral bernubuat tanpa bersumber dari nilai-nilai agama karena agama terkadang membelah diri menjadi benih anarki dan antisosial. Berhadapan dengan kedua tuntutan yang bertentangan ini mencuat suatu pertanyaan, dari mana moral merumuskan standar kebaikan dan keburukan? Apakah moral yang melahirkan agama atau rahim agama melahirkan anak-anak yang bermoral? Di tengah situasi batas dalam pemikiran Karl Jaspers, mungkinkah agama menyusui moral yang mandul dan menopause dini? Ataukah moral mampu melahirkan kebajikan hidup tanpa “dihampiri” oleh agama yang terkadang suka meniduri moral tetapi tetap berselingkuh dengan kejahatan dan kebejatan?
Pada zaman ini ditandai oleh perubahan pesat dalam banyak bidang kehidupan masyarakat. Perubahan membawa kemajuan maupun kegelisahan pada banyak orang. Banyak orang tidak merasa pegangan lagi tentang norma kebaikan, norma-norma agama seakan tidak meyakinkan lagi, atau bahkan dirasa usang dan tidak dapat dijadikan pegangan sama sekali. Dalam situasi perubahan seperti itu dibutuhkan sikap yang jelas arahannya? Bagaimana kita harus merumuskan kembali cerminan nilai agama dalam bidang moral.
Moral dan Agama harus dikembalikan sampai pada nilai-nilai yang hakiki, tidak hanya pada soal kepraktisan tetapi rasionalitas, sehingga orang lain lebih dapat memahami dan ikut berpikir agar keyakinan yang lebih mendalam perlu kita usahakan.
Moral cerminan ajaran Agama
Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang amat penting karena, manusia dalam hidupnya harus taat dan patuh pada norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum, baik yang dibuat atas kesepakatan kelompok manusia maupun aturan yang berasal dari hukum Tuhan. Moral mempunyai fungsi untuk melayani manusia melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Ajaran iman Katolik, Kitab suci adalah sumber utama ajaran moral Gereja, Gereja dengan setia memelihara apa yang diajarkan dalam sabda Allah, bukan hanya kebenaran-kebenaran iman melainkan juga kebenaran-kebenaran moral. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai kemanusiaan itu sebetulnya tetap saling mengandaikan, saling memperkuat, dan mengembangkan satu sama lain. Antara moralitas dan agama itu sama sekali tidak menafikan dan meniadakan satu sama lain. Moral sebagai kumpulan aturan tingkah laku memiliki hubungan erat dengan agama. Dalam hal ini menegaskan bahwa moral akan kehilangan signifikansinya, bila dipisahkan dari agama, bahkan dalam pencapaian spiritualitas berkat pengalaman mengenai yang ilahi terciptalah religiusitas, yaitu rasa dan kesadaran akan hubungan dan ikatan kembali manusia dengan Tuhan. Nilai-nilai atau norma-norma dalam agama sangatlah penting dalam kehidupan moral karena Jika kita tidak sesuai dengan norma agama atau norma umum maka pantaslah kita dikatakan manusia yang asusila, manusia biadab. Maka tidak dipungkiri lagi Gereja mengajarkan bahwa iman yang benar mendorong orang ke arah moral yang benar, karena seharusnya memang tidak boleh ada pemisahan antara iman dan moral. Iman memiliki pesan moral; kehidupan yang bermoral merupakan kesaksian iman.
Beragama Ekuivalen dengan Bermoral?
Tidak bisa disangkal, agama memiliki korelasi positif dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral yang mengarahkan penganutnya untuk bertindak baik kepada orang lain. Mengenai ajaran moral yang terkandung dalam suatu agama, K. Bertens menguraikan bahwa ada dua macam peraturan hidup beragama yang mendukung orang bertindak moral. Di satu pihak ada macam-macam peraturan yang agak mendetail tentang makanan yang haram, puasa, ibadah dan sebagainya. Di pihak lain ada peraturan etis melampaui kepentingan agama tertentu seperti jangan membunuh, jangan bersaksi dusta, jangan bersinah dan jangan mencuri. Peraturan kedua ini hampir diterima dalam semua agama dan menjadi dasar tindakan moral.
Berangkat dari penjelasan Bertens tersebut, kita diperhadapkan dengan pertanyaan pelik “Apakah memang suatu kemutlakaan bahwa beragama ekuivalen dengan bermoral?” Kaum beragama menyakini bahwa moralitas bersumber dari rahim agama. Standar kebaikan dan keburukan berasal dari nilai-nilai agama. Kewajiban-kewajiban moral mengikat penganutnya untuk bertindak baik kepada orang lain. Walaupun penganutnya lolos dari polisi dan hakim tetapi tidak bisa lari dari Tuhan sebagai hakim moralitas. Bagi orang beragama, Tuhan adalah dasar dan jaminan untuk berlakunya tatatan moral atau sebagaimana dikatakan oleh seorang tokoh dalam novel yang ditulis pengarang Rusia terkenal, Dostoyevski: ”Seandainya Allah tidak ada, semua diperbolehkan”. Dengan demikian, beragama berarti mendorong orang untuk bertindak moral.
Tetapi golongan anti agama menolak pernyataan kaum beragama tersebut. Bagi mereka agama bukanlah dasar tindakan moral. Orang berbuat baik bukan karena takut pada hukuman Tuhan tetapi murni kepentingan kemanusiaan dan primat rasionalitas.
Melalui sekularisasi, pandangan ini lahir dari kaum ateis dan agnostik. Kelompok ini dalam praktek menolak agama tetapi menjadikan etika dan moral sebagai kompas kehidupan. Mereka bahkan menuduh kaum beragama menjadi biang keladi banyak sekali penindasan yang terjadi di atas lembaran sejarah. Atas nama agama – mereka tegaskan telah terjadi bermacam-macam kejahatan yang dapat meragukan mutu etis agama. Filsuf Prancis Jean-Paul Sartre (1905-1980), salah seorang ateis yang paling radikal di abad 20 dan menolak tesis Dostoyevski tadi. Menurut dia tidak benar bahwa orang tidak beragama semuanya bebas untuk melakukan apa saja. Lebih lanjut Sartre menjelaskan bahwa meskipun ateis tidak bertanggung jawab pada Tuhan, mereka tetap bertanggungjawab kepada diri sendiri, berpegang pada prinsip kemanusiaan dan menjunjung tinggi primat rasionalitas.
Mungkinkah Agama Menyusui Moral?
Membaca argumen kaum ateis di atas mencuat suatu pertanyaan tentang latar belakang penentuan prinsip moral kemanusiaan. Memang benar bahwa kehidupan beragama tidak menjamin penganutnya untuk bertindak moral. Tetapi agama menjadi sumber nilai yang membedakan tindakan jahat dan tindakan baik. Mengenai hal ini, teolog Katolik abad ini, Hans Kung memberi arah tindakan moral bersumber dari agama: “Kendatipun manusia mewajibkan dirinya untuk taat pada norma-norma moral, satu hal tetap tak dapat dilakukan manusia tanpa agama: memberikan pendasaran atas keniscayaan dan universalitas kewajiban-kewajiban moral.” Kaum ateis dan anti-agama memang menolak agama tetapi mereka tidak dapat menampik bahwa standar moralitas bersumber dari agama-agama. Pendasaran terakhir tak tergoyahkan tentang keharusan dan universalitas norma-norma moral, demikian menurut Kung, tidak dapat berpijak pada argumentasi rasional abstrak semata-mata. Keharusan nilai-nilai moral menggugah perasaan manusia, suatu ruang dimana agama dapat menembusi dan bersemedi di dalamnya.
Contoh praktisnya adalah alasan manusia menaaati nilai moral jika ketaatan itu harus dibayar dengan hidup. Untuk apa mengorbankan nyawa, misalnya, menentang sebuah rezim totaliter demi memperjuangkan hak-hak sesamanya yang tertindas tidak dapat dijelaskan dengan akal sehat semata-mata. Dibutuhkan suatu yang transenden dan keteguhan iman melampaui kefanaan dunia ini. Dan pijakan itu hanya mungkin ditemukan dalam agama-agama. Atau contoh lain, bagaimana kaum ateis menjelaskan persoalan moral publik kontemporer seperti aborsi, euthanasia dan kloning? Kalau hanya berpijak pada rasio saja, moral ateis tidak mampu membendung maksud pasien yang mengakhiri hidup lebih awal lantaran penderitaan tak tertahan. Atau mengapa secara etis aborsi harus dilarang jika bayi di dalam kandungan merupakan buah dari pemerkosaan?
Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa memang beragama tidak menjamin orang untuk bermoral karena agama kerap menjadi rahim yang melahirkan ketidakadilan, tetapi agama tetap menjadi sumber tindakan moral. Agama mampu menyusui moral agar bertumbuh dalam kebajikan. Melampaui sumber moralitas, agama berperan dalam menata kehidupan budaya. Agama membantu manusia menyelesaikan situasi batas atau mengolah pengalaman sebagai mahluk yang kontingens. Nikhlas Luhman berpendapat, peran agama ialah mentematisasi hubungan antara yang imanen dan transenden atau dalam ungkapan sederhana melipat jarak antara Allah yang akbar dan Allah yang akrab.
Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Ajaran Moral Paus Yohanes Paulus II (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), hlm. 9.
Fredy Sebho, Moral Samaritan (Maumere: Penerbit Ledalero,2018), hlm. 12.
K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 36.
Otto Gusti Madung, Negara, Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia (Maumere: Ledalero, 2014), hlm. 47.