Opini  

Media Sosial, Remaja dan Orang Tua

Riko Raden

Penulis: Riko Raden
Tinggal di unit St. Rafael Ledalero, Maumere.

Salah satu perkembangan teknologi yang marak digunakan zaman sekarang yaitu media sosial. Media sosial hadir dengan berbagai cara sehingga banyak orang sulit untuk melepaskan diri dari dunia medium ini. Cara penggunaan media sosial zaman sekarang tidak bisa dibedakan lagi antara orang tua dan anak-anak. Adanya kebebasan dalam mengakses internet memudahkan orang untuk mengakses media sosial, dan tentunya layanan tersebut mempermudah orang dalam mencari informasi apapun dan berinteraksi melalui dunia maya dengan siapapun. Dengan media sosial pula kita dapat bergabung dengan sebuah komunitas, menemukan teman lama, dan berkenalan dengan teman baru.

Sadar atau tidak, media sosial yang bisa memberi kenyamanan, kepuasaan, dan kemudahan akhirnya menggugah hati kaum remaja. Penelitian atau survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 memperlihatkan fakta yang lebih mencengangkan. APJII membagi pengguna internet berdasarkan kelompok usia. Anak-anak dan remaja (10-14 tahun) yang telah menggunakan internet jumlahnya mendekati 800 ribu(Alois Wisnuhardana, 2018:67). Senada dengan itu, hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) sebagaimana dikutip oleh Primada Qurrota Ayun, menunjukkan lima media sosial terpopuler di Indonesia, yaitu Facebook berjumlah 65 juta pengguna, Twitter 19,5 juta pengguna, Google+ 3,4 juta pengguna, LinkedIn  1 juta pengguna. Dari begitu banyaknya pengguna media sosial tersebut tentu saja remaja sebagai manusia yang sedang dalam proses perkembangan juga turut serta ada di dalamnya. Bagi kaum remaja, media sosial seakan sudah menjadi candu, tiada hari yang dilalui tanpa membuka media sosial, bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari media sosial. Remaja yang seringkali dijelaskan sebagai pribadi yang terus mencari jati diri. Dalam pencarian jati diri ini, kaum remaja berhadapan dengan media sosial yang menakjubkan dengan berbagai macam kemudahan. Akan tetapi, kemudahan itu pada akhirnya tetap membawa dampak(negatif) bagi remaja itu sendiri. Ada begitu banyak dampak (negatif) media sosial bagi kaum remaja, namun di sini penulis  menurunkan dua dampak (negatif) yang sangat lekat dalam kehidupan  remaja saat ini.

Pertama, pemborosan waktu. Perkembangan media sosial membuat kinerja lebih cepat, tepat, akurat sehingga dapat meningkatkan produktivitas yang dihasilkan. Adapun media sosial yang sering digunakan pada saat ini adalah Facebook, Instagram, Path, dan media sosial lainnya. Seperti yang sudah diketahui, media sosial selalu menampilkan program-program terbaik dan sangat kontekstual dengan nilai rekreatif tinggi juga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menikmati acara atau program yang ditampilkan oleh media sosial.

Salah satu pengguna media sosial sekarang adalah kaum remaja. Dengan menggunakan media sosial, kaum remaja dapat dengan mudah berkomunikasi jarak dekat maupun jarak jauh tanpa harus bertatap muka atau bertemu. Media sosial bagi remaja merupakan hal yang penting tidak hanya sebagai tempat memperoleh informasi yang menarik tetapi juga sudah menjadi gaya hidup.  Banyak kaum remaja yang tidak dianggap jaman dahulu (jadul) karena tidak memiliki akun media sosial. Disadari atau tidak, kaum remaja yang sering menggunakan media sosial tidak hanya dapat memboros uang tapi juga memboros waktu mereka untuk belajar atau sedang bersama keluarga di rumah. Memang benar bahwa pengguna media sosial bisa menikmati layanan gratis, namun banyak kaum remaja yang kecanduan untuk terus bermain media sosial. Bahkan, tidak sedikit yang sampai lupa waktu. Kebiasaan tersebut dapat menguras kuota internet secara signifikan. Ditambah lagi, makin hari konten video yang berukuran besar makin mendominasi media sosial. Meski saja banyak di rumah kaum remaja, orangtua mereka bisa menggunakan wifi gratisan, tetap saja ada kaum remaja yang tidak puas dan harus beli kuota internet. Hal ini dapat mengantisipasi kaum remaja apabila mereka berada di luar rumah, konten-konten dalam media sosial masih dinikmati. Berbagai macam hal ini, kaum remaja sampai melupakan untuk menikmati waktu atau kesempatan untuk membaca buku atau mengerjakan hal-hal yang penting. Kehadiran media sosial mestinya harus ditanggapi dengan kritis khususnya oleh kaum remaja sendiri agar dengan bijak dan dapat membawa manfaat untuk bagi perkembangan dan pertumbuhan dalam hidup.

BACA JUGA:  Sahabat Milenial dan Keluarga Deklarasi Yuvensius Tukung Maju Pilkada Kota Kupang 2024

Kedua, menimbulkan kenakalan. Terlalu berlebihan juga apabila mengklaim bahwa media sosial menjadi biang kerok penyebab berbagai kenakalan yang timbul akhir-akhir ini. Perihal kenakalan, sejarah telah mencatat bahwa kenakalan telah tumbuh sekian jauh sebelum munculnya berbagaia media komunikasi modern seperti yang dikenal sekarang ini. Namun, melihat perkembangan dari media komunikasi seperti media sosial yang begitu pesat dewasa ini,  dan juga kemungkinan yang disiapkan oleh media sosial dapat diakui juga bahwa media sosial pun memberi dampak instan  timbulnya berbagai kenakalan di tengah masyarakat khususnya kaum remaja. Kaum remaja begitu rutin menonton segala video ataupun membaca kasus-kasus di media sosial membuat mereka juga ikut terpengaruh. Mereka dapat dengan mudah meniru berbagai tawuran kenakalan yang senantiasa dilihat atau didengar dari media sosial. Tak jarang media sosial pun sering menurunkan berbagai informasi seputar tawuran kaum remaja. Seperti yang diunggah oleh media online TEMPO.CO pada 21 Juli 2020 tentang Tawuran di Depok, Seorang Pelajar Kritis Terkena Luka Bacok. Kasus ini berawal dari aksi saling tantang di media sosial. Salah seorang pelajar SMK Yadika 12 Depok diajak oleh teman satu sekolahnya untuk ikut dalam aksi tawuran tersebut. Akibat saling tawur ini seorang pelajar menjadi korban dan sebagianya telah diaman di kantor polisi. Sungguh kehadiran media sosial bisa merubah pola tatanan dalam kehidupan kaum remaja saat ini. Media sosial hadir dengan berbagai situs membuat kaum remeja tenggelam dalam medium ini.

Maraknya pengaruh (negatif) media sosial bagi kaum remaja, menjadi perhatian khusus dari orang tua sendiri. Orang tua sebagai figur, monitor, dan pengendali dalam penggunaan media sosial secara bijak dan bertanggungjawab, akan menjadi contoh baik bagi kaum remaja itu sendiri. Orang tua harus memberikan penjelasan sejak dini perihal menggunakan media sosial secara bertanggung jawab. Orang tua dengan tegas melarang kaum remaja untuk tidak menggunakan media sosial saat makan bersama, belajar, menginstal aplikasi-aplikasi berbau negatif, dan kesempatan bersama lainnya. Orang tua bukan saja hanya melarang tapi juga kontrol aktivitas kaum remaja agar mereka tidak terbelenggu sehingga masa depan remaja menjadi cerah dan berguna bagi keluarga.

Peran orang tua amat signifikan dalam mengarahkan kaum remaja untuk bersikap selektif dan kritis terhadap setiap pemberitaan di media sosial. Orang tua tetap menjadi guru yang pertama dan utama bagi penanaman nilai-nilai moral spiritual bagi kaum remajanya. Peran penting ini tidak dapat dijadikan sebagai pengasuh elektronis bagi kaum remaja. Tentang hal ini, Familiaris Consoratio, amanat apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II, yang dikutip oleh  Charles Emanuel DM dalam majalah VOX Ledalero, tentang peran keluarga kristen dalam dunia modern. Sri Paus Yohanes Paulus II menggariskan, “orang tua sebagai penerima (pembaca, pendengar, pemirsa) hendak secara aktif menjaga, supaya media digunakan secara terkendali, kritis, waspada dan bijaksana, dengan menyelidiki akibat-akibatnya pada anak-anak mereka, dan dengan mengawasi penggunaan media sedemikian rupa (Charles Emanuel DM, “Keluarga Katolik Di Atas Areopagus Dunia Modern”, dalam SERI VOX, 54:02, Tahun 2010, hlm.100).  Selain itu, peran orang tua ,asih tetap signifikan ketika berhadapan dengan kecenderungan ideologiasi dan hiper-realitas media. Produk yang ditampilkan media menuntut ketegasan sikap dari setiap orang tua sehingga realitas semu yang ditampilkan tidak sampai menggoncangkan tatanan dan keutuhan keluarga (Ibid.,). Apabila orang tua dapat menjalankan fungsi dengan baik, maka dimungkinkan tumbuh generasi (kaum remaja) yang berkualitas dan dapat diandalkan akan menjadi pilar-pilar kemajuan bagi kaum remaja itu sendiri dan keluarga. (*)