Afrika Selatan, KN – Ketua Umum Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMPPI) yang juga perwakilan dari KSPSI AGN, William Yani Wea, mendesak negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang tergabung dalam G20, untuk menjadikan pekerja sebagai subjek utama pembangunan. G20 tidak boleh hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi saja.
Hal itu disampaikan Yani Wea secara lantang, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Serikat Buruh atau Labour 20 (L20) Summit 2025, yang resmi dibuka awal pekan ini di Fancourt, George, Afrika Selatan. Pernyataan tegas Yani Wea ini adalah suara resmi delegasi Indonesia dalam forum ini. Selain William Yani Wea, hadir sebagai delegasi Indonesia adalah Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban.
Forum yang mengusung tema “Mendorong Solidaritas, Kesetaraan, dan Keberlanjutan melalui Kontrak Sosial Baru,” ini menjadi suara gerakan buruh dunia, dalam proses pengambilan keputusan G20. Forum tahunan ini menjadi wadah strategis bagi suara pekerja untuk terlibat dalam proses G20, dengan menyoroti isu ketimpangan, krisis iklim, perdagangan eksploitatif, dan pekerjaan tidak layak.
“G20 tidak boleh menjadi forum elitis yang hanya menguntungkan negara-negara maju dan korporasi besar. Kami mendorong agar serikat pekerja tidak hanya jadi pendengar simbolik, tapi menjadi mitra sejajar dalam menyusun arah kebijakan global. Negara-negara berkembang, termasuk pekerjanya, punya hak atas pemulihan ekonomi yang adil. Negara berkembang seperti Indonesia tidak bisa terus dibebani oleh skema yang berat sebelah,” kata William, Senin (28/7/2025).
Isu yang menjadi perhatian utama di hari pertama L20 Summit yaitu ketimpangan pemulihan pascapandemi, krisis geopolitik yang mengancam stabilitas global, serta perlunya transisi hijau yang adil.L20 juga menyoroti dampak perdagangan bebas terhadap eksploitasi pekerja dan kerusakan lingkungan.
Dalam diskusi bertema “Kebijakan Industri Hijau dan Transisi yang Adil”, delegasi Indonesia juga menyuarakan pentingnya perlindungan sosial bagi pekerja sektor terdampak seperti tambang dan energi fosil. William yang merupakan mahasiswa program doktoral (S3) di IPDN itu menyampaikan, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam melindungi pekerja informal dan rentan, terutama dalam konteks ekonomi digital dan perubahan iklim.
“Kita tidak bisa bicara tentang keberlanjutan tanpa keadilan. Transisi hijau harus melibatkan pekerja dari awal, dengan jaminan pelatihan, perlindungan pendapatan, dan pekerjaan baru yang layak,” jelasnya.
Para peserta menyuarakan agar semua perjanjian dagang ke depan wajib mencantumkan perlindungan hak-hak dasar pekerja sesuai standar ILO, serta memastikan keterlibatan serikat dalam proses perundingan. Hari pertama L20 Summit diisi dengan sesi panel tentang krisis geopolitik, reformasi multilateralisme, dan perlunya kebijakan industri hijau yang menjamin transisi adil.
Para pembicara menekankan, G20 harus membuka ruang yang lebih besar bagi suara pekerja dalam setiap proses kebijakan global. L20 Summit 2025 akan berlangsung selama dua hari dan dihadiri oleh perwakilan serikat buruh dari seluruh dunia. Forum ini menjadi bagian penting dalam menjembatani suara rakyat pekerja ke meja-meja kekuasaan G20. (*)