Opini  

Vitamin Jiwa Stoik Sang Tukang Lobi

Agustinus Tetiro (Foto: Istimewa)

Oleh: Agustinus Tetiro

Emanuel Melkiades Lana Lena. Nama ini sudah saya kenal sejak lebih dari dua (2) dekade lalu. Orang-orang di NTT mengenalnya dengan nama sapaan “Melki”, sementara generasi kami yang lebih muda menyebutkan dengan singkatan: MLL. Dia aktivis, politisi, dan di kalangan kerabat dan public terbatas mengenalnya sebagai seorang apoteker, peracik obat.

Karena sejumlah atribut itulah saya kemudian merangkum Melki dengan satu frasa seperti pada judul di atas: Vitamin Jiwa Stoik Sang Tukang Lobi. Frasa ini juga bisa dipenggal menjadi 3 (tiga) bagian otonom: Vitamin, Jiwa Stoik, Tukang Lobi. Vitamin dekat dengan sang apoteker. Jiwa Stoik merujuk pada diri sang aktivis. Dan, tukang lobi melekat pada gaya berpolitik Melki Laka Lena di skala nasional, yang mungkin belum banyak orang NTT tahu, karena Melki melakukannya dalam hening yang menggerakkan dan memberdayakan.

“Kritik adalah Vitamin”

2019 yang lalu saat pertama kali terpilih menjadi anggota DPR-RI, saya memberikan ucapan selamat kepada Melki melalui pesan WA. Melki mengajak ketemu untuk ngobrol-ngobrol, saya justru yang ketiadaan waktu, menyusul padatnya kegiatan, karena bekerja sambil kuliah. Kami akhirnya bertemu pada salah satu kesempatan peluncuruan (launching) buku karya Doktor Vivick Tjangkung di salah satu kampus di Petojo.

Saya memberikan sambutan mewakili salah satu kelompok studi yang menyelenggarakan launching buku tersebut. Untuk menyapa Melki yang turut hadir, saya sempat berujar, “Pak Melki, kita sedang berada dalam kampus dan yang sedang berbicara di sini seorang wartawan. Kampus dan media pastilah akan menjadi mitra strategis serentak kritis bagi posisi Pak Melki sebagai wakil rakyat”

Para hadirin bertepuk tangan. Saya malah yang merasa, jangan-jangan pernyataan saya terlalu keras. Lalu, tibalah kesempatan bagi Pak Melki untuk juga memberikan semacam sambutan pada acara tersebut. Setelah mengapresiasi acara launching buku, Pak Melki juga meyatakan dengan lantang:

“Aji Gusti yang baik dan teman-teman sekalian. Bagi saya, kritik adalah vitamin. Kita sama-sama mencintai bangsa ini, mencintai daerah kita. Mari kita bekerja sama sesuai dengan status dan peran kita masing-masing”

Saya semakin yakin bahwa Melki menempatkan kritik sebagai vitamin saat pandemi covid-19 melanda bangsa ini dan seluruh dunia. Melki sebagai wakil ketua komisi IX DPR-RI sangat-amat sibuk memastikan Indonesia punya daya tahan pada serangan virus tersebut. Melki harus beraktivitas dari pagi hingga larut malam.

Beberapa kali kami bertemu di studio televisi tempat saya bekerja. Melki hadir sebagai narasumber tentang apa yang dilakukan pemerintah dan wakil rakyat selama pandemi. Biasanya setelah acara usai, Melki meminta saya untuk memberikan satu dua masukan serta kritik untuk mempercepat penyelesaian masalah. Minimal, katanya, dari pandangan para wartawan yang biasanya mengetahui lebih banyak hal secara umum.

Saya tidak segan-segan melontarkan kritikan untuk Melki, untuk komisi yang dipimpinnya, untuk DPR-RI pada umumnya dan untuk pemerintah agar Melki melanjutkannya ke pihak terkait. Melki menerima itu dengan satu sikap terbuka yang menurut saya sesuai dengan karakternya yang apa adanya. Hal itu juga yang saya temukan saat Melki berjibaku dalam pencalonan dirinya sebagai gubernur NTT.

Seperti kepada banyak seniores, saya selalu menitipkan pesan kepada Melki untuk selalu menjaga kesehatan di tengah padatnya kegiatan. Vitamin harus selalu ada di kantong baju dan dibawa kemana-mana! Ya, Vitamin!

“Jiwa Stoik Sang Aktivis”

Sebagai aktivis, Melki Laka Lena tipe eksekutor, tidak banyak omong, dan jauh dari kesan narsistik. Melki tidak terlalu memuja keindahan kata-kata, yang memang akan mudah jatuh dalam verbalisme sebagaimana yang kita lihat pada banyak (calon) pemimpin. Melki juga bukan tipe pemimpin narsistik yang harus mengatur gaya bicara, gaya berpose dan gaya berpakaian.

Melki hadir apa adanya di tengah masyarakat, terutama di antara mereka yang sedang menderita, tanpa sorotan cantik kamera dengan menjepit mic clip-on, apalagi sambil dengan gaya yang dibuat-buat untuk keperluan fotografi mengaduk periuk nasi pada korban bencana. Gaya yang tidak otentik seperti itu pasti bukan Melki!

BACA JUGA:  Bom Bunuh Diri Suatu Tindak Kekerasan

Saat membaur bersama masyarakat sederhana, Melki lebih memilih mendengarkan keluhan dan curahan hati mereka. Mereka menangis bersama anak-anak korban bencana. Di tengah kegiatannya, Melki menghibur mereka dengan menyanyi bersama.

Soal nyanyian ini Melki mempunyai pilihan lagu yang menarik perhatian saya. Awalnya saya sempat tidak percaya saat Melki berkisah bahwa dirinya akrab dengan Musisi Franky Sahilatua dan bersama membuat syair untuk lagu “Aku Papua”. Cerita senior Valens Daki So’o kemudian membuat saya semakin yakin. Saya kemudian pernah secara tidak sengaja mendengarkan Melki menyanyikan lagu “Aku Papua” di Labuan Bajo, dengan penghayatan yang menurut saya sangat bagus.

Selama masa kampanye ini, saya seringkali menonton dan mendengar melalui media sosial Melki menyanyikan lagu “Karena Cinta” (dipopulerkan oleh Joy Tobing) dan “Hadapi dengan Senyuman” (Dewa). Dua lagu ini kental dengan suasana stoikisme: kita hanya akan bisa mengubah apa yang bisa kita ubah, dan menerima dengan bijak apa yang terjadi tanpa kendali kita.

Riwayat biografis Melki Laka Lena memperlihatkan seorang pribadi yang telah makan garam dalam politik. Melki memulai karir politik dari bawah, dari usia yang sangat belia. Melki telah menyelesaikan semua jatah gagalnya dan saat ini—dengan bantuan Tuhan, leluhur dan masyarakat NTT—Melki bisa menjadi gubernur, dengan segala hal yang telah, sedang dan akan dilakukannya untuk daerah yang sangat dicintainya ini.

Bagi Melki, semua perjalanan politik yang dilalui menempatkannya sebagai “Alat di Tangan Tuhan”. Sesuatu yang kemudian membuat kita ingat bahwa stoikisme juga bisa berwajah sangat kristiani. Jika kita adalah alatnya Tuhan, maka kita siap ke manapun diutus.

Melki mungkin tidak pernah tahu filsafat Stoa, tetapi saya memberanikan diri untuk menyatakan: hidup dan karya politik Melki sangat stoikal, tepatnya: jiwa stoik seorang aktivis kristiani.

“Tukang Lobi itu Bernama Melki Laka Lena”

Beberapa orang dengan keras menyerang pasangan Melki-Johni karena terlalu mengandalkan pusat. Itu kritik dan vitamin yang baik adanya. Saya melihat dari sisi lain: konsistensi Melki untuk membantu NTT. Melki-Johni mengidentifikasi masalah utama NTT: sempitnya ruang fiskal. Dan obat yang mujarab adalah: lobi kepada pusat-pusat sumber keuangan di pusat.

Soal lobi pastilah Melki yang terhebat dari antara calon kepada daerah yang maju di NTT. Didukung oleh koalisi besar dan sejalan dengan kepemimpinan di pusat, Melki lebih bisa menghadirkan pemerintah(-an) pusat ke daerah (baca: APBN, non-APBN dan Swasta).

Saya beberapa kali menjadi saksi tentang jagonya Melki melobi para pembesar bangsa ini. Di antara kalangan para politisi sangat senior, Melki memang dikenal sebagai anak muda yang punya prospek sosial-politik yang bagus. Melki bisa menelpon dan ngobrol dengan Sultan Jogja. Melki bisa dengan luwes mempertemukan Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Surya Paloh, dan lain-lain.

Kita tentu bisa menduga-duga, kemampuan komunikasi politik Melki hingga pada taraf ini pastilah didasari dengan sikapnya yang luwes dan bisa masuk ke kalangan manapun. Kita ingat pernyataan keras Melki pada closing statement debat ketiga: “Mari kita jauhi isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan)”

Melki jauh dari kesan sukuis dan chauvinisme sempit. Pertemanannya yang luas, yang inklusif-pluralis telah memperkaya pribadinya. Saat ini, ketika generasinya sedang memenuhi sejumlah unsur pimpinan, Melki pasti akan lebih mudah lagi melobi sejumlah anggaran untuk dibawa ke NTT. Beberapa menteri anggota kabinet merah-putih telah menyatakan siap mendukung Melki di NTT.

Pada akhirnya, Vitamin Jiwa Stoik Sang Tukang Lobi ini harus bisa dioptimalkan untuk kemajuan NTT dan kesejahteraan warganya. Kita perlu mendukung Melki. Ayo bangun NTT!