Kupang, KN – Perhelatan politik lima tahunan, Pemilihan Kepala Daerah serentak sudah di depan mata. 27 November 2024 mendatang, sejumlah kabupaten dan kota termasuk Provinsi di NTT akan menggelar Pilkada.
Beberapa wajah baru bermunculan, mulai mensosialisasikan diri di masyarakat. Ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni seorang pemimpin harus memenuhi tiga aspek.
Bupati Kupang periode 2009-2014 dan 2014-2018, Ayub Titu Eki kepada wartawan di kediamannya di Matani, Kabupaten Kupang, mengurai tiga kriteria calon gubernur yang layak untuk memimpin NTT lima tahun kedepan.
“Ada tiga syarat yang harus dimiliki, dan ini sudah baku. Secara ilmiah, sudah menjadi bahan diskusi dimana-mana, namun saya mau melokalkan lagi sesuai dengan kebutuhan NTT saat ini. Tiga kriteria itu, kapasitas, kapabilitas dan isi tas. Memang saat suksesi seperti saat ini, kalau ditanya, tentu semua mau. Tapi pertanyaannya, siapa yang layak memenuhi syarat-syarat ini? Karena kursinya hanya satu,” ujarnya.
Ada banyak defenisi mengenai kapasitas, namun jika disederhanakan, sebenarnya ini menyangkut seseorang haruslah memiliki isi hati dan isi pikiran. Apaah dipenuhi dengan segala kebaikan, ketulusan, yakni ingin hadir untuk melakukan sebuah perubahan, ataukah sebaliknya.
“Pikiran dan hati dua hal yang berbeda namun punya kaitan erat. Apa yang dia pikirkan, dia simpan di hati lalu kemudian kalau dia sudah pikir lagi dia mau buat apa maka hati dan pikiran bekerja sama dan menjadi kenyataan. Kapasitas ini menyangkut isi hati orang, isi pikiran dia. Ahli ekonomi itu pikiran tentang teori-teori ekonomi. Kapasitasnya hanya itu. sementara masyarakat di masyarakat itu kompleks. Ada aspek sosial, politik dan ada banyak macam lainnya. Isi hatinya harus menyimpan banyak hal. Harus berpikir tentang orang-orang besar tapi juga berpikir tentang kebutuhan orang-orang kecil,” tegas mantan kepala UPBJJ Universitas Terbuka NTT ini sembari menambahkan, jika seseorang tidak memiliki isi hati dan pikiran, ketika dia berbicara dengan orang kaya, dia menganggap semua sepikir dengan dia.
Padahal sebenarnya menyelesaikan masalah orang kaya berbeda dengan masalah orang kecil.
“Karena itu NTT butuh seorang pemimpin yang punya isi hati dan isi pikiran yang kaya dan besar. Mau merangkul semua untuk menyelesaikan semua persoalan yang unik dna kompleks. Nah ingat, kenapa ini perlu dipertimbangkan. Seseorang ingin melakukan sesuatu karena isi hati dan isi pikirannya mendorong dia untuk berbuat sesuatu,” tambahnya.
Apalagi, ketika seseorang mensosialisasikan dirinya, maka akan ada pernyataan lanjutan dari masyarakat yang hadir. Dan ini struktur berpikir masyarakat umumnya, yang memiliki kepekaan akan budaya yang tinggi.
“Dia akan berbisik pada sesamanya: Coba lihat dia baik-baik atau timbang baik-baik. Bukan artinya dengan mata badani, melainkan melihat dengan mata hati. Mereka yang hidup dalam tataran budaya, tidak melihat dengan mata badani, melainkan sampai pada kedalaman hati. Mencoba meramal isi hati orang. Ini berarti kapasitas, isi hati dan isi pikiran orang sangat diperlukan.”
Karena itu seseorang yang berniat menjadi pemimpin haruslah memiliki kapasitas yang mumpuni, tidak asal mimpi semalam, lalu menyatakan mau bertarung. Karena masyarakat akan merasakan dengan hati, merekalah yang akan memilih dan menentukan masa depannya.
“Mereka mengambil keputusan sesuai nurani. Karena jika salah memilih, tentu menyesal selama lima tahun karena pemimpinnya salah dipilih. Karena isi hati dan isi pikirannya yang membuat orang ada dimana, sampai dimana dan buat apa. Tercermin dari isi hati dan pikirannya. Sehingga kalau dia jauh berjalan, banyak berbuat, inilah yang akan menolong dia. Saya tekankan berulang-kali mengenai kapasitas karena ini sangat penting,” ujar Ayub. Tentu harus bisa dibuktikan isi pikiran dan isi hatinya, sehingga tidak terkesan menipu publik.
Sedangkan aspek kedua, yakni ‘Kapabilitas’. “Ini juga saya lokalkan, yakni kemampuan orang itu menunjukkan, memperlihatkan isi hati dan isi pikirannya. Kalau dia pikir tentang menolong orang berati kapabilitynya adalah kapan dan dimana dia menolong. Kemampuan dia menunjukkan apa yang dia karyakan. Itu sudah memperlihatkan isi hati dan isi pikirannya. Perlu dicatat disini,kalau sekedar isi hati dan pikirannya dia tunjukkan misalnya, saya buat ini untuk dipuji, supaya dipilih, ini akan terjawaba oleh waktu. Nah saat ini masa untuk mengkonfirmasi informasi itu. biasanya kangsung ketahuan maunya,”ntegas Ayub. Karya ketulusan pasti akan menimbulkan kenyamanan bagi yang menerimanya.
Sedangkan mengenai isi tas, atau kemampuan finansial, juga disoroti Ayub. Baginya, uang penting sebagai penggerak, namun bukan segalanya. Jika seseorang memiliki kapasitas yang cukup, didukung kapabilitas yang bisa dipercaya, tentu dia akan menemukan jalannya sendiri, dan jalan ini bermuara pada keberhasilan.
“Kalau orang hatinya baik, pikirannya baik dan apa yang baik di dalam diri, dia tunjukkan apa yang sudah dilakukannya, saya pikir ada orang yang akan menopang dia. Sehingga terkait kriteria pemimpin, saya lebih melihat Tas pertama dan kedua. Bukan berarti uang tidak perlu, karena politik sekarang butuh uang. Orang yang baik saya yakin akan ada jalan. Kalau pakai istilah iman, tidak ada yang mustahil bagi seorang baik.”
Waspadai Politisi ‘Santa Clauss’
Sementara ketika berbicara mengenai kondisi NTT saat ini, dia membuka bahwa PBB sudah mendesain program membebaskan penduduk dunia dari kemiskinan. Dan tahun 2000-2015 atau 15 tahun perama dikemas dalam program MDGs. Lalu tahun 2016-2030 atau tinggal 6 tahun kedepan, kemiskinan sudah haus dihapus di bumi ini.
“Nah ini kondisi kita saat ini. Riil kita hari ini, kondisi kemiskinan di Indonesia rata-rata di bawah 10 persen, artinya dari 100 orang mungkin sembilan orang yang miskin, sisanya tidak. Tetapi di NTT saat ini, dari 100 orang, 20-nya miskin sedangkan saat yang sama, Indonesia di bawah 10. Nah sekarang menurunkan itu tidak gampang. Penduduk NT sudah 5 juta. Orang miskin kita masih lumayan banyak,” ujarnya menambahkan garis batas kemiskinan yang diterapkan di Indonesia standarnya lebih tinggi.
Dimana garis batas kemiskinannya lebih tinggi tapi jumlah orang miskinnya lebih rendah. Sedangkan sebaliknya di NTT, standar kemiskinannya lebih rendah tetapi jumlah orang miskinnya lebih tinggi.
Jika garis batas kemiskinan terus menerus dinaikkan oleh negara-negara maju maka bukan tidak mugkin, kita tetap akan berada pada posisi sebagai daerah dengan status kemiskinan ekstrim.
“Nah untuk menyelesaikan ini bukan dengan pergi dan bantu mereka dengan beras, minyak goreng, odol gigi, sabun mandi, bukan begitu. Tetapi siapa yang punya kapasitas, kapabilitas, untuk menolong orang miskin, berpikir lebih luas, revolusioner, itu baru bisa memimpin di daerah ini. Membantu orang miskin jangan sampai seperti anda memasukkan mereka dalam kandang, lalu paronisasi. Dikasi bantuan. Memang dia gemuk, ada makanan, tapi tidak cukup demikian, dia akan menjadi pribadi gampangan, malas,” ungkap Ayub dengan nada serius.
Masyarakat NTT harus ditolong dengan cara melairkan pemimpin yang punya kapasitas dan kapabilitas untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan itu. Agar orang-orang desa bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
“Jangan sampai dia menolong orang lain dengan cara santa claus. Datang bawa dan bagi-bagi hadiah. Kita harus berpikir labih jauh. Saya harap masyarakat agar berpikir secara baik dan waspadai calon pemimpn yang berkarakter demikian,”ujar Ayub.
Menurutnya, saat ini dia belum berbicara mengenai figur siapa yang menurutnya layak karena masyarakat sudah punya pilihan, hanya harus dicerahkan, diedukasi.
“Bahwa ini kebutuhan NTT saat ini. Karena banyak sekali yang mau maju. Saat ini ada banyak yang masuk keluar kampung bawa minyak goreng, pupuk dan sebagainya. Mereka hanya hadir sesaat saja selanjutnya hilang. Tidak punya kapasitas dan kapabilitas yang cukup,” ungkap Ayub yang menambahkan bahwa dia mencermati, ada politisi yang punya niat, lalu datang ke desa-desa dan menunjukkan isi hatinya, seolah-olah dia orang baik.
Memang mereka datang bawa bantuan, namun harus ditelaah lebih lanjut.
“Oke saja, bantuan yang memandirikan itu bagus, namun ada bantuan yang memelihara ketergantungan. Bagi bibit dan pupuk itu baik, karena meningkatkan kemampuan mereka untuk mengolah potensi yang mereka miliki. Seperti bantuan untuk pengairan. Bagi saya, harusnya bantuan yang diberikan itu adalah yang memandirikan. Jika dulu mereka kekeringan, namun sudah ada bantuan air yang cukup sehingga ladang gersang menjadi hijau karena sayuran, palawija dan sebagainya. Inilah yang harus dipilih,” pungkas Ayub. (*/KN)