Kupang, KN – Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat, merupakan satu-satunya pemimpin yang membuka ruang untuk dikritik, dalam kepemimpinannya bersama Wakil Gubernur Josef Adrianus Nae Soi.
Politisi Partai NasDem itu bahkan menghadiri kegiatan Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Panitia dari SMSI NTT itu, selama berjam-jam dan rela mendengar berbagai kritik dan masukan terhadap pemerintah.
Diskusi publik Refleksi Kritis 4 Tahun Kepemimpinan Victory-Joss berlangsung di Aula Utama El Tari, Kupang, Kamis 8 September 2022.
Dalam diskusi yang dimoderatori dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona ini, Viktor Laiskodat memberikan apresiasi kepada Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi NTT sebagai penyelenggara diskusi.
Ia mengatakan dirinya bersama Wakil Gubernur Josef Nae Soi menyampaikan terima kasih karena diskusi ini merupakan sebuah langkah maju yang dilakukan jurnalis NTT.
“Ini sesuatu keniscayaan dalam pembangunan masa kini. Oleh karena itu, kita perlu memberikan apresiasi. Saya bilang kepada teman-teman SMSI, namanya pemerintah pasti mempunyai kekurangan. Hari ini saya mau mendengar yang kurang-kurang itu. Kalau kelebihannya saya tidak tertarik. Yang saya mau dengar yang kurang itu,” kata Gubernur VBL.
Ia mengatakan, kekurangan pemerintah mesti didiskusikan agar dapat dilakukan penyempurnaan. Oleh karena itu, program-program yang telah dicanangkan pemerintah dapat dinilai dan dikritik, sehingga menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaikinya.
VBL juga menyinggung beberapa program yang tidak maksimal dijalankan karena berbagai kendala. Ia mencontohkan, program belajar ke luar negeri untuk 2.000 terkendala kondisi covid-19, seroja, ASF dan kendala-kendala lain. “Karena itu, bukan excuse, tapi ini hal yang perlu didiskusikan lagi. Bahwa saya punya mimpi, dan memang itu harus dilakukan. Air bersih misalnya, memang harus kita pecahkan bersama karena masalah paling sulit adalah air. Air kita zat kapur yang begitu tinggi,” kata VBL.
Selain itu, program penanganan stunting. Menurutnya, stunting masih sangat tinggi di NTT. Oleh karena itu, melalui diskusi yang digagas SMSI ini, diirnya ingin mendapat masukan-masukan dan pikiran konstruktif untuk dapat ditindaklanjuti pemerintah. Dengan demikian, apa yang belum sempurna, dapat diperbaiki.
“Bagi saya sempurna itu seperti masyarakat sejahtera semua, tidak ada yang sakit, bisa membiayai pendidikan, kebutuhan dasar terpenuhi, sehingga tidak ada yang sempurna. Saya mengajak mari kita diskusikan dengan baik,” ujarnya.
Di akhir pemaparannya, mantan anggota DPR RI ini mengajak semua komponen untuk bekerja keras, kerja bersama, dan kerja ikhlas untuk menuju kesempurnaan yang diharapkan. “Jadi lebih baik saya memberikan ruang kepada siapapun untuk memberikan kritik yang konstruktif bagi pemerintah NTT,” kata VBL.
Wakil Ketua DPRD NTT, Dr. Inche Sayuna sebagai salah satu pemateri dalam diskusi publik dan coffee morning menyampaikan sejumlah catatan refleksi terkait 4 tahun kepemimpinan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi.
Ia menyoroti soal misi Pemprov NTT mewujudkan masyarakat NTT yang makmur dan sejahtera
dengan terciptanya keamanan dan iklim investasi dan usaha yang berkualitas. Menurutnya, agenda ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar karena sampai sejauh ini pemerintah provinsi tidak ada inisiatif untuk mengusulkan Perda Penyelesaian Tanah Ulayat di Propinsi NTT.
Hambatan investasi di NTT penyebab paling mendasar adalah Pemprov NTT tidak mampu menertibkan tanah ulayat, sehingga banyak menimbulkan kegaduhan di publik bahkan menjurus kepada konflik horizontal.
“Aset tanah pemerintah juga tidak tertib pengadministrasiannya, sehingga menyebabkan banyak konflik antara pemerintah dan rakyat. Contohnya kasus Besipae, tanah Manulai, KI Bolok, Pantai Pede, kasus Sumba Timur, Besipae, Manulai, dan Hotel Pelago,” kata Inche.
Selain itu, ia menyinggung terkait pendapatan asli daerah (PAD) NTT. Menurutnya, porsi pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan transfer sangat dominan, menyebabkan ketergantungan fiskal yang tinggi, sehingga berdampak pada ruang fiskal yang terbatas, kapasitas fiskal yang rendah dan keseimbangan primer APBD yang kurang memadai.
Kondisi ini menyebabkan Pemprov NTT memiliki ruang gerak yang terbatas dalam alokasi APBD untuk kepentingan pembangunan, pembayaran bunga serta pengembalian pinjaman daerah. Inilah dasar pertimbangan kenapa kebijakan pemerintah untuk pinjaman dengan bunga menjadi perdebatan di lembaga DPRD.
Dari analisis ratio kinerja keuangan daerah tahun 2021, APBD NTT mengalami tekanan yang sangat berat. Terungkap bahwa setiap tahun kebutuhan fiskal NTT terus membesar, sementara ruang fiskal dan kapasitas fiskal terbatas
Poin berikutnya, terkait sektor pariwisata yang dijadikan prime mover ekonomi. Menurut Inche, harus diakui bahwa di tangan kepemimpinan Victory-Joss selama 4 tahun pariwisata NTT bertumbuh dengan pesat, bahkan sinergi yang baik antara pemerintah propinsi dan pemerintah pusat, Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai kawasan wisata superpremium.
“Namun pada sisi yang lain problem kita adalah belum terdapat grand design pengembangan pariwisata yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan kepariwisataan. Kemudian alokasi belanja daerah untuk urusan kepariwsataan sangat rendah, hanya 0,25%. Besaran ini tidak seimbang dengan bobot indikator,” kata Inche.
Oleh karena itu, ia menyarankan Pemprov NTT untuk segera menyusun grand design pengembangan kepariwisataan sebagai acuan dalam pengembangan pariwisata NTT untuk mewujudkan pariwisata sebagai penggerak perekonomian daerah. Selain itu, pengembangan pariwisata melalui pemenuhan unsur 5A Pariwisata (Attraction, AccessibilityAccommodation, Amenities, dan Awareness) dengan Pola Pendekatan Kawasan perlu dimantapkan melalui implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat dengan program dan alokasi anggaran yang memadai.
Di sektor infrastruktur, Inche memberi apresiasi karena Victory-Joss dapat dikatakan sukses membangun infrastruktur jalan provinsi di NTT yang selama ini terisolir. Secara kuantitas, persentase panjang jalan provinsi dalam kondisi mantap dari target 90 telah terealisir 86,59 atau sekitar 96,21%. Namun, menurutnya, beban pemerintah provinsi dalam mewujudkan konektivitas yang baik membutuhkan biaya besar dan rentang kendali dalam penyelenggaraan jalan relatif luas, menyebabkan pelaksanaan kontruksi, pengendalian dan pengawasan kurang optimal.
Kemudian, soal stunting dan kemiskinan, Inche menjelaskan
data Study Status Gizi Indonesia (SSGI) ada 5 kabupaten di Provinsi NTT masuk dalam prevalensi 10 daerah dengan angka stunting tertinggi dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting di Indonesia. Kelima kabupaten tersebut adalah TTS, TTU, Alor, SBD, dan Manggarai Timur. Bahkan TTS dan TTU menempati urutan pertama dan kedua yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di Indonesia, karena berada di atas 46%.
Secara keseluruhan berdasarkan studi SSGI tahun 2021, NTT memiliki 15 Kabupaten berkategori merah, dengan ratio prevalensi di atas 30%. Dengan prevalensi stunting yang masih berada di atas 30% dan berstatus merah, menempatkan NTT pada urutan teratas daerah dengan angka stunting yang sangat tinggi dsbanding provinsi lainnya, dan sekaligus menjadikan NTT satu dari 12 provinsi yang menjadi prioritas daerah penangan stunting secara Nasional.
Terkait angka kemiskinan yang masih tinggi, Inche menjelaskan DPRD NTT telah merekomendasikan agar penanganan kemiskinan dilakukan secara extraordinary. Program dan kegiatan dilakukan secara terukur untuk peningkatan pendapatan dan implemntasi program dan kegiatan bersifat konvergensi.
Pakar Ekonomi UKAW Kupang, Dr. Zeth Malelak, yang merupakan pemateri ke IV dalam diskusi itu memberikan kritik konstruktif terhadap empat tahun kepemimpinan Victory-Joss.
Menurut Zeth, di era kepemimpinan Gubernur Viktor Laiskodat bersama Wakilnya Yosef Adrianus Nae Soi selalu memberikan janji-janji yang kemudian tidak terealisasi secara baik kepada masyarakat.
“Jadi di era Victory-Joss ini saya memberikan julukan dengan nama ilusi ekonomi, karena semua rencana program tidak berjalan dengan baik,” ujar Zeth dihadapan Gubernur NTT.
Dia menegaskan, banyak program kerja yang sudah direncanakan Gubernur Laiskodat dan Wakilnya Josef Nae Soi, namun belum di implementasikan secara baik.
“Terlalu banyak rencana dan rancangan yang menumpuk, sehingga tidak bisa dikeluarkan. Jadi semuanya ini hanya ilusi, karena tidak ada loncatan dan transisi secara terstruktur,” tegas Zeth Malelak.
Zeth mengakui, jika Gubernur Laiskodat bersama Wakilnya Josef Nae Soi memang pernah menempuh pendidikan hingga mendapatkan gelar doktor, namun tidak pernah teruji.
“Artinya mereka tidak mempunyai pengalaman yang kuat, dan tidak pernah teruji. Betul bahwa mereka pernah sekolah. Tetapi tidak teruji. Karena menjalankan sebuah birokrasi itu tidak gampang,” terangnya.
Viktor Laiskodat, kata Zeth Malelak, selama ini justru bertahan dan keluar dengan cara yang menurut banyak masyarakat tidak pantas.
“Padahal keinginan gubernur itu sangat kuat, tetapi buruknya adalah komunikasi ilusi yang dibangun dengan para bupati atau pemilik wilayah,” jelasnya.
“Karena secara UU otonomi, gubernur hanya mengkoordinasi. Dan ide itu harus dijalankan secara baik oleh kepala daerah atau pemilik wilayah tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nusa Cendana Kupang, Jhon Tuba Helan mengatakan bahwa selama 4 Tahun Kepemimpinan Viktory-Joss dari September 2018 hingga September 2022 menghasilkan 37 Peraturan Daerah (Perda) dan 348 Peraturan Gubernur (Pergub) dan dari Produk Hukum itu harus di terapkan.
“Apa pun yang kita lakukan harus berdasarkan hukum, termasuk juga dalam pembangunan, Pertanian, Peternakan dan untuk menjalankan itu perlu ada kajian,” ujar Tuba Helan.
Di samping itu, Tuba Helan juga menanyakan bahwa apakah dari produk hukum ini sudah diimplementasikan dengan baik dan menyejahterakan rakyat? Selain itu, dari 400 lebih produk hukum ini ada sekitar 80-an produk hukum yang mengalamai perubahan, bahkan ada perubahan sampai enam kali. Hal ini tentu harus menyesuaikan dengan peraturan pemerintah pusat.
Karena menurutnya, asas hukum tidak boleh bertentangan dengan asas hukum yang lebih tinggi dan pemerintah provinsi ada pada urutan 6 dari produk hukum yang ada di Indonesia.
“Jika produk hukum di tingkat nasional ada perubahan maka produk hukum yang ada di daerah harus menyusuikan,” ujarnya.
Untuk diketahui, Diskusi publik tersebut dihadiri Gubernur NTT, Dr. Viktor B. Laiskodat, Wakil Ketua DPRD Provinsi NTT, Dr. Ince D. P. Sayuna, SH.,M.Hum.,M.Kn, praktisi pertanian UKAW Ir. Zeth Malelak, M.Si, pengamat Hukum Tata Negara Undana, Dr. John Tuba Helan dan Rektor Unwira, Pater Dr. Philipus Tule, SVD. Moderator dalam diskusi ini adalah dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona. (*)