Kupang, KN– Keluarga Banobe angkat bicara terkait polemik kepemilikan tanah di kawasan Manutapen atau Kisbaki, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Kuasa Hukum keluarga Banobe, Bildad Thonak, S.H, menegaskan bahwa keluarga Banobe adalah pemilik sah tanah tersebut dan membantah tudingan sebagai mafia tanah.
Menurut Bildad, tanah yang menjadi objek sengketa saat ini dulunya merupakan milik keluarga Banobe yang sempat digunakan oleh Kementerian Kehutanan untuk lokasi persemaian.
Namun, setelah perjuangan panjang, kementerian Kehutanan menerbitkan surat telaah pada akhir 2024 dan menggeser garis koordinat kawasan hutan seluas 20 hektare. Hal ini artinya bahwa tanah tersebut secara resmi kembali menjadi milik keluarga Banobe.
“Kami memiliki bukti hukum berupa surat pendaftaran tanah tahun 1960, sertifikat landreform, dan putusan pengadilan yang menyatakan tanah sekitar 200 hektare adalah milik keluarga Banobe,” ujar Bildad kepada wartawan di Kupang, Sabtu (3/5).
Ia menyayangkan adanya pihak-pihak yang menolak keberadaan keluarga Banobe dan menyebut mereka sebagai mafia tanah. Padahal, menurutnya, keluarga Banobe telah berinisiatif memfasilitasi dialog dan proses legalisasi bagi pihak-pihak yang saat ini menduduki tanah tersebut.
Ahli waris pengganti keluarga Banobe, Filmon Kai, juga menyampaikan kekecewaannya atas tudingan miring tersebut. “Kami bukan mafia tanah. Tanah itu dulunya milik kami, dan sekarang telah dikembalikan oleh Kementerian Kehutanan kepada kami sebagai pemilik awal,” tegas Filmon.
Ia menjelaskan, terdapat dua surat telaah terkait kepemilikan tanah yang diterima keluarga, masing-masing untuk lahan seluas 16 hektare dan 5,6 hektare, sementara 7 hektare sisanya masih menjadi bagian dari program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan belum dikembalikan secara penuh.
Filmon juga menyatakan bahwa pihak-pihak yang menyuarakan tuduhan mafia tanah di media sosial justru merupakan oknum yang menjual lahan tanpa hak kepemilikan yang sah. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa keluarga Banobe tidak berniat menggusur para penghuni saat ini, melainkan ingin membantu mereka memperoleh legalitas atas lahan yang ditempati.
Kuasa hukum lainnya, Obet Djami, S.H, menyatakan bahwa pihaknya masih mengedepankan pendekatan humanis dan belum menempuh jalur hukum, meski telah mengantongi bukti kepemilikan yang kuat. “Kami masih menggunakan pendekatan humanis,” ungkapnya. (*)