Oleh : T.H. Hari Sucahyo (Umat Paroki Santo Athanasius Keukupan Agung Semarang)
Indonesia saat ini berada di sebuah persimpangan jalan yang menentukan arah masa depannya. Di tengah dinamika politik yang sarat kepentingan, tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi, serta persoalan sosial yang kian kompleks, bangsa ini memerlukan momentum kebangkitan yang nyata. Ketimpangan sosial tetap menjadi pekerjaan rumah besar, integritas demokrasi sedang diuji, dan harapan rakyat atas perubahan bergantung pada hadirnya pemimpin yang benar-benar berkomitmen pada keadilan dan kesejahteraan.
Dalam konteks inilah makna Paskah menjadi sangat relevan bukan semata perayaan religius, tetapi juga sebagai inspirasi untuk membangun arah baru bagi Indonesia. Paskah, yang tahun ini dirayakan pada 20 April, dalam tradisi Kristiani merupakan simbol kemenangan atas penderitaan, penebusan dosa, dan kebangkitan menuju kehidupan baru. Dalam perspektif kebangsaan, kebangkitan ini dapat dimaknai sebagai upaya kolektif untuk bangkit dari keterpurukan, menata ulang visi masa depan, dan membangun negeri dengan semangat baru.
Indonesia, dengan segala potensi dan kekayaan yang dimilikinya, harus berani menghadapi tantangan dengan langkah transformatif yang berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas. Salah satu tantangan mendasar bangsa ini adalah ketidakadilan sosial yang masih mengakar. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 77% total kekayaan nasional. Sementara itu, kemiskinan ekstrem masih menghantui banyak wilayah, terutama di kawasan Indonesia Timur.
Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite. Kebangkitan yang diilhami oleh makna Paskah seharusnya menggerakkan hati nurani para pemimpin untuk lebih berpihak pada mereka yang terpinggirkan. Kebijakan ekonomi yang inklusif, pemberdayaan masyarakat akar rumput, serta pemerataan pembangunan mesti menjadi prioritas jika bangsa ini sungguh ingin bangkit secara adil. Nilai Paskah juga mengajarkan tentang keberanian untuk berubah.
Dalam kisah Paskah, Yesus tidak hanya bangkit secara fisik, tetapi juga menunjukkan jalan baru dalam kepemimpinan: merendahkan diri, melayani dengan kasih, dan berani menanggung risiko demi kebenaran. Model kepemimpinan semacam ini nyaris hilang dari panggung politik kita, yang kerap didominasi oleh manuver populis dan pragmatisme kekuasaan. Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar populer, melainkan visioner yang berani mengambil keputusan strategis dan tidak populis demi masa depan yang lebih sehat.
Reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi yang sungguh-sungguh, serta perbaikan sistem hukum bukanlah agenda pinggiran, melainkan fondasi dari kebangkitan nasional yang sejati. Lebih jauh, Paskah juga bicara tentang rekonsiliasi dan persatuan. Dalam konteks bangsa yang plural seperti Indonesia, rekonsiliasi menjadi urgensi yang tak bisa ditunda. Polarisasi pasca pemilu yang terus diperpanjang di ruang publik, terutama media sosial, telah membuat masyarakat terbelah dan kehilangan rasa saling percaya.
Dalam terang Paskah, rekonsiliasi bukanlah sikap lemah, tetapi sebuah kekuatan moral untuk memulihkan luka sosial. Indonesia butuh lebih banyak ruang dialog ketimbang ruang debat, lebih banyak gerakan kolaboratif ketimbang kontestasi penuh kebencian. Masyarakat harus lebih kritis dalam menyikapi informasi, tidak mudah terprovokasi oleh politik identitas, dan berani terlibat aktif menjaga kohesi sosial. Dalam konteks demokrasi, Paskah dapat menjadi cermin untuk menumbuhkan harapan baru dalam kehidupan politik Indonesia.
Demokrasi yang sehat tidak berhenti pada pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil. Ia harus menjelma menjadi sistem yang melahirkan pemimpin berintegritas, berpihak pada rakyat kecil, dan memiliki komitmen terhadap tata kelola yang transparan serta akuntabel. Kebangkitan politik Indonesia harus menjadi kebangkitan etika, bukan sekadar regenerasi kekuasaan. Tidak kalah penting adalah kebangkitan dalam sektor pendidikan dan kebudayaan. Dua bidang ini merupakan tiang penyangga kemajuan bangsa.
Sayangnya, akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi kemewahan bagi sebagian kalangan. Pemerintah perlu menempatkan pendidikan sebagai investasi strategis jangka panjang dengan memperbaiki kurikulum, meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, dan memastikan bahwa sistem pengajaran mampu membentuk generasi yang kritis, kreatif, dan berdaya saing. Di sisi lain, kebudayaan sebagai cermin jiwa bangsa perlu terus dirawat agar bangsa ini tidak kehilangan akar identitasnya di tengah arus globalisasi.
Paskah bukan sekadar seremoni liturgis yang berlalu dalam sehari. Ia adalah panggilan untuk bangkit secara pribadi dan kolektif. Indonesia harus mampu membaca tanda zaman, merespons tantangan dengan keberanian moral dan kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan umum. Harapan tidak boleh menjadi retorika kosong. Ia harus dihidupi, dijaga, dan diperjuangkan lewat kerja nyata dan semangat kolaboratif. Dengan semangat Paskah, mari kita bangun kebangkitan Indonesia yang bukan hanya menjanjikan hidup yang lebih baik, tapi juga lebih adil, bermartabat, dan berbelarasa.