Isu penerapan Bangunan Gedung Hijau (BGH) mendesak untuk diterapkan setelah Perjanjian Paris 2015 dan dipercaya menjadi salah satu langkah untuk mengurangi emisi karbon. Peningkatan emisi karbon di dunia menyebabkan dampak pemanasan global dan pembangunan merupakan salah satu penyumbang emisi karbon yang cukup besar. Penggunaan material dan sumber daya energi tak terbarukan, semakin banyak bangunan dan luas perkerasan di kawasan perkotaan menyebabkan terjadinya fenomena urban heat island. Data United Nations Environment Programme (UNEP) menunjukkan bahwa perkotaan walaupun hanya menempati lahan di dunia sekitar 2 persen, tapi mengkonsumsi 75 persen energi di seluruh dunia dan bangunan gedung, ternyata menghabiskan sekitar 40 persen energi dunia, 20 persen air, menghasilkan 25 persen sampah dunia dan 40 persen emisi karbon.
Indonesia termasuk dalam 195 negara yang menandatangani Perjanjian Paris, memiliki target 29 persen penurunan emisi tanpa syarat (usaha sendiri) dan 41 persen bersyarat (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030 dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Beberapa aspek yang ditargetkan Indonesia dalam NDC yang dapat dicapai melalui konsep bangunan hijau antara lain adalah penggunaan energi terbarukan, efisiensi energi, pengolahan sampah dan pengamanan sumber air bersih.
Konsep BGH
Sesuai Permen PUPR 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau, BGH adalah bangunan gedung yang memenuhi Standar Teknis Bangunan Gedung dan memiliki Kinerja Terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau sesuai dengan fungsi dan klasifikasinya dalam setiap tahapan penyelenggaraannya.
Beberapa prinsip bangunan gedung hijau yang perlu diketahui antara lain upaya pengurangan sumber daya (lahan, material, air, sumber daya alam dan manusia), pengurangan timbunan limbah baik fisik maupun non fisik, penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan sebelumnnya (reuse), penggunaan sumber daya hasil siklus recyle, perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian dan mitigasi resiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim dan bencana.
Pemenuhan standar teknis bangunan gedung adalah pemenuhan persyaratan dalam setiap tahapan penyelenggaraan gedung yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan tahapan pembongkaran sesuai fungsi dan klasifikasinya. Sebagai contoh standar teknis untuk perencanaan antara lain tata bangunan (peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, pengendalian dampak lingkungan) dan keandalan bangunan gedung (keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan)
Kinerja terukur bangunan terkait penerapan BGH, terbagi menjadi kategori BGH Wajib dan Disarankan. Untuk sektor bangunan gedung baik baru dan terbangun punya 2 kategori yaitu Wajib dan Disarankan. Sementara untuk sektor lingkungan meliputi Hunian Hijau Masyarakat (H2M), Kawasan Hijau baru dan Kawasan Hijau yang sudah ada, hanya satu kategori yaitu Disarankan. Untuk bangunan gedung BGH Wajib adalah bangunan baru dan bangunan terbangun yang mempunyai syarat kriteria berpedoman pada jumlah lantai dan luasan lantai bangunan. Hal ini merujuk pada klasifikasi bangunan gedung sesuai fungsi bangunan. Misalnya untuk bangunan hunian campuran (Klas 4) dan bangunan kantor (Klas 5) baik baru maupun terbangun, BGH Wajib adalah bangunan gedung dengan luas lantai lebih dari 4 lantai dan luasan minimal 50.000 m2. Di luar syarat tersebut maka bangunan gedung kedua klas tersebut masuk kategori BGH Disarankan.
Selanjutnya, Kinerja BGH diukur dengan sejumlah standar poin yang pada setiap tahapan mulai perencanaan sampai pembongkaran dengan berbagai parameter untuk setiap tahapan. Hasil penilaian ini berupa peringkat BGH yang terbagi dalam 3 kategori yaitu Pratama, Madya dan Utama. Manfaat yang diperoleh dengan sebuah gedung berlabel bangunan hijau atau BGH adalah bangunan dapat meningkatkan kualitas hidup, menghemat sumber daya listrik dan air, mengurangi biaya pemeliharaan bangunan, bangunan digunakan lebih lama, mengurangi jejak karbon (ramah lingkungan) dan meningkatkan nilai jual bangunan / branding.
Salah satu isu utama penerapan BGH adalah biaya pembangunan yang lebih mahal dibandingkan dengan bangunan konvensional dengan perbedaan sekitar 10 – 15 persen. Namun hal dapat diimbangi dengan biaya pemeliharaan yang lebih rendah selama umur bangunan dan berbagai manfaat yang diperoleh diatas. Disamping itu ada pemberian insentif kepada pemilik dan pengelola BGH dalam beberapa bentuk seperti keringanan retribusi, kompensasi berupa tambahan koefisien lantai bangunan, dukungan teknis dan bantuan tenaga ahli BGH dan dukungan publikasi / promosi.
Penerapan BGH
Penerapan BGH di Indonesia belum terlalu signifikan dan baru di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Semarang. Pemerintah perlu memberikan contoh kepada masyarakat melalui penerapan BGH di semua bangunan perkantoran pemerintah baik yang sudah dibangun maupun yang akan dibangun. Apalagi untuk bangunan gedung negara dengan luasan diatas 5000 m2 wajib menerapkan prinsip – prinsip BGH (PP Nomor 16 tahun 2021, pasal 124 ayat 11).
Sehingga semua bangunan negara berkontribusi dalam menurunkan emisi karbon dan menghemat biaya khususnya biaya operasional. Hal ini bertolak dari pemakaian listrik bangunan pemerintahan yang masih tinggi dengan inefisiensi mencapai sekitar 25 – 30 (PT. Energy Managament Indonesia,2016). Hasil penelitian gedung bertingkat di Indonesia diperoleh data bahwa beban listrik untuk AC mencapai 60 % dari total pemakaian energi listrik bangunan.
Kementerian PUPR sudah memberikan contoh dengan membangun gedung kantor dengan menerapkan konsep bangunan hijau yang dapat dijadikan referensi untuk bangunan pemerintah lainya. Gedung Utama Kementerian PUPR Jakarta dapat menghemat listrik sampai 40 persen atau setara dengan 3,52 juta kwh / tahun, kontribusi pengurangan emisi CO2 3.140 ton dan menghemat biaya Rp 3 Milyar per tahun. Ini dicapai dengan banyak mengandalkan penerangan alami dan sensor penerangan otomatis yang akan memadamkan lampu ketika tidak ada orang di setiap ruangan. Sementara untuk penghematan air dipakai sistem daur ulang penggunaan air dan penampung air hujan yang dipakai untuk menyiram lingkungan taman, penyiram urinoir dan mesin pendingan AC (Kemen PUPR,2020).
Untuk bangunan gedung baru, dapat dilakukan beberapa pendekatan desain. Seperti untuk efisiensi energi bangunan Gedung melalui desain pasif dan desain aktif. Desain pasif dilakukan dengan merencanakan selubung bangunan yang efisien melalui orientasi bangunan, pemilihan material bangunan yang tepat, rasio bukaan (jendela) serta penggunaan cahaya dan penghawaan alami. Meminimalkan panas yang masuk dalam bangunan antara jam 10 pagi sampai jam 3 sore, dengan pemasangan penghalang sinar (external shading) pada sisi Timur dan Barat bangunan. Sementara desain aktif dilakukan dengan penggunaan sistem penghawaan buatan yang hemat energi, lampu hemat energi, penggunaan sensor gerak dan cahaya, penerapan sistem manajemen bangunan. Kombinasi dari dua sistem ini akan sangat mendorong upaya penghematan energi khususnya penggunaan AC dan penerangan buatan.
Untuk bangunan terbangun, dapat dilakukan sejumlah penyempurnaan secara sederhana. Baik secara desain pasif maupun desain aktif. Melalui desain pasif dapat dilakukan dengan pemasangan panil pelindung sinar matahari untuk mengurangi perambatan panas dalam gedung, baik dari bahan buatan maupun vegetasi (wall garden) dan penggunaan vegetasi pada atap bangunan (roof garden). Sementara untuk efisiensi penggunaan air dapat dilakukan melalui pemanfaatan air hujan. Secara desain aktif dapat dilakukan melalui pemanfaatan teknologi baru seperti AC hemat energi, pemasangan sensor, penggunaan energi alternatif pada bangunan (seperti energi surya).
Biodata Singkat
Nama : Paul J. Andjelicus
Pekerjaan : ASN pada Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi NTT
Jabatan : Perencana Madya Bidang Spasial
Pendidikan : Arsitektur Unwira Kupang – Urban Planning ITB Bandung
Alamat Rumah : Jl. Gerbang Media RT 08 RW 04 Kelapa Lima Kupang
Telepon/HP : HP 081339433446
Anggota Ikatan Arsitek Indonesia Provinsi NTT: Nomor anggota 10798 072 2400