Opini  

Menguji Ketangguhan KPI (Sekenanya Saja di HUT Pers Nasional 2021)

Bernardus Tube Beding

Oleh: Bernardus Tube Beding
Pegiat Literasi dan Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng
 
Saat ini generasi digital telah mengalami banyak perubahan dan kemajuan, bahkan sampai memunculkan berbagai masalah. Kini, berbagai alat digital yang berkembang di kalangan masyarakat. Hal ini memudahkan setiap orang cepat menyampaikan aspirasi dan komentarnya hanya dengan menekan tombol “share” tanpa khawatir diciduk pihak berwajib. Ternyata, kenikmatan berpendapat atau berkomentar tidak diimbangi dengan kemawasan dan kedewasaan diri, alih-alih memperhatikan aspek sosial dan budaya, serta hanya terbawa dalam amarah menghilangnya nostalgia masa kecil.
 
Sekadar Bernostalgia

Tentu, kita masih ingat peristiwa pemblokiran anime di televisi, ketika KPI mendapat sorotan berbagai komentar tentang tayangan-tayangan di televisi swasta. Saat itu, KPI menilai sejumlah adegan pada program anak-anak di televisi yang dapat berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan mental anak. Muatan itu mulai dari kekerasan fisik, kekerasan terhadap hewan, penggunaan senjata tajam dan benda keras untuk menyakiti dan melukai, kata-kata kasar, hingga perilaku yang tidak pantas (pornografi) yang dengan gamblang ditayangkan setiap harinya di berbagai stasiun televisi dengan frekuensi dua kali sehari. Atas kejadian itu, KPI mulai menghentikan dan menyensor tayangan mulai dari Tom & Jerry (ANTV, RCTI, dan Global TV), One Piece (Global TV), Death Note (Global TV), Crayon Shinchan (RCTI), Detective Conan (Indosiar).

Peristiwa pemblokiran itu, sempat mendapat beragam komentar dari para netizen. Bahkan, KPI menjadi bulan-bulanan netizen yang mengalami egoisme berkedok kerinduan masa kecil. Netizen tidak menyadari bahwa media dan pemilik kepentinganlah yang menuai untung berkat literasi media yang rendah tersebut, tanpa memilikirkan perkembangan karakter generasi.

Sejujurnya, anime itu ditujukan bukan untuk anak-anak, tetapi ditujukan untuk remaja 15 tahun ke atas. Hanya saja pola pikir orang Indonesia yang sudah sejak lama keliru, karena menganggap segala sesuatu yang berbau animasi adalah tayangan untuk anak-anak. Walaupun masih banyak anime yang bobot ceritanya ringan, penuh adegan dengan karakter lucu, dan dipadu dengan animasi warna-warni yang menarik. Khas sekali dengan karakteristik anak-anak usia 6-9 tahun. Hanya saja, tidak semua judul anime seperti itu. Padahal kita tahu bahwa “Hentai” yang khusus dibuat untuk tayangan orang dewasa. Bayangkan, jika “Hentai” sampai yang isinya animasi untuk dewasa ditayangkan untuk anak-anak.

Selain disebabkan anime yang mengandung unsur kekerasan, dll, ada hal lain yang menyebabkan anime tidak ditayangkan kembali. Berdasarkan investigasi Media Development Research Institute Inc, sebuah episode anime berdurasi 30 menit pada tahun 2010 menghabiskan biaya 11.000.000 Yen (sekitar 1,2 Miliar rupiah). Nilai tersebut hanya diperuntukkan pada satu seasen (13 episode) tinggal jumlahkan saja 1,2 miliar dengan 13, sekitar 15,6 miliar. Salah satu penyebab kemahalan karena anime dibuat dari gambar tradisional atau secara manual (original work) yang kemudian dianimasikan. Berbeda dengan animasi 3D di Hollywood yang didesain dengan menggunakan komputer.
 
Mengendus Minat Masyarakat Sekarang

Generasi sekaran memiliki minat khas pada K-pop atau hal-hal yang berbau Korea. Bahkan semua tayangan ‘berbau” Korea tidak pernah alpa dari perhatian kaun remaja dan dewasa, serta orang-orang tua. Masyarakat zaman sekarang mulai menyudutkan para penikmat anime. Bahkan, beragam komentar bahwa tayangan anime seperti anak kecil aneh karena tidak nyambung, kecuali kepada sesama penikmat anime. Dilihat dari hal itu, maka kini banyak stasiun televisi yang mulai beralih dari anime ke drama korea dan K-pop. Hal ini sesuai dengan tujuan media televisi yang ditujukan selain menyediakan informasi dan hiburan tentunya untuk mencari keuntungan.

Lebih dari itu, masyarakat Indonesia terobsesi dengan sinema elektronik atau yang dikenal dengan sinetron yang ditayangkan secara periodik oleh televisi-televisi swasta di Indonesia. Ketika jam tayang sinetron kesukaan, tentu semua pekerjaan ditahan setelah selesai tayangan sinetron. Bahkan ketika sinetron kesukaan mulai tayang, tidak sedikit anak-anak, remaja, dan kaum ibu mulai menguasai televisi dan remote di rumah; ibu kita belum bisa masak buat makan malam, jam belajar dipindahkan ke larut malam, dan masih banyak perubahan kehidupan akibat tayangan sinetron Indonesia.

Dalam perkembangan, sinetron Indonesia mengalami perubahan konten yang lebih mengarah pada aspek-aspek ‘negatif’.  Judul sinetron seringkali bertema negatif dan vulgar; adegannya banyak mengandung unsur kekerasan/perundungan; pemain sinetron masih berusia anak-anak sedangkan peran yang dimainkan aktor remaja seringkali berlawanan dengan norma pergaulan masyarakat dan tidak sesuai dengan perkembangan psikologi anak; serta adegan dalam sinetron seringkali mengesampingkan adat dan norma yang berlaku di masyarakat Indonesia (Oetomo, 2012; Astuti, 2010).

Sesungguhnya, sebagian besar sinetron Indonesia tidak mendidik. Hal ini berkebalikan dengan prinsip pemasaran bisnis pertelevisian, yaitu sinetron yang memiliki rating tertinggi adalah sinetron yang menawarkan cerita dan adegan yang justru bertentangan dengan adat dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Artinya, dominasi bisnis pertelevisian terhadap konten tayangan sinetron yang dianggap tidak mendidik dan seringkali mengabaikan norma masyarakat yang berlaku di Indonesia. Sinetron Indonesia seringkali mengisahkan tentang kisah asmara remaja dan drama rumah tangga. Kisah asmara remaja diwarnai dengan pergaulan yang hedonistik, kemewahan hidup, percintaan romantis, perkelahian seperti contoh tayangan sinetron berjudul “Ganteng-Ganteng Serigala” dan “Anak Jalanan”. Sedangkan drama rumah tangga dengan sasaran dewasa biasanya diwarnai dengan kisah cinta segitiga, perjodohan, penderitaan, kesedihan seperti sinetron berjudul “Orang Ketiga” dan “Catatan Hati Seorang Istri”.

BACA JUGA:  Kerapian Bertutur Kata di Media Sosial, Jalan Kebebasan Menuju Masa Depan yang Baik

Saya mengamati bahwa sinetron Indonesia memiliki pola khas, yaitu jika rating sinetron naik, maka sinetron tersebut akan diperpanjang hingga ratingnya turun. Hal ini yang membuat jalan cerita sebuah sinetron seringkali dipaksakan dan kisahnya berlarut-larut. Kita dapat melihat sendiri perubahan jadwal tayangannya di televisi. Menurut saya, kondisi tersebut menunjukkan dunia pertelevisian bersifat mencari keuntungan, tanpa mempertimbangkan nilai moral, kelogisan adegan, dan kreativitas.

Sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa anak-anak, remaja, dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan terdampak pengaruh buruk tayangan sinetron, sekaligus sebagai  korban karena dianggap sebagai kelompok kelas dua (Ezeifeka, 2013). Secara khusus, perempuan ditempatkan pada posisi lemah, rentan, dan seringkali dikaitkan dengan seksualitas dalam sinetron (Chen and Machin, 2014; Antony, 2017). Seksualitas seringkali ditampilkan melalui gambar tubuh dan ekspresi perempuan (Beale and Malson, 2016). Bahkan, dalam sinetron, perempuan diposisikan sebagai pemeran utama dalam ranah domestik dan pengasuhan anak.

Selain perempuan, anak-anak dan remaja juga ditempatkan sebagai korban terdampak tayangan sinetron. Anak-anak dan remaja dianggap belum dapat mengontrol diri dalam memilih tontonan yang bermanfaat dan sesuai usia mereka (Astuti, 2010). Anak-anak dan remaja merupakan kelompok terdampak utama tayangan sinetron Indonesia. Akibat sinetron Indonesia, siswi sekolah menengah dan mahasiswi berpakaian seksi sehingga menimbulkan syawat pada laki-laki dan efeknya siswi dan mahasiswi tersebut kehilangan harga diri. Artinya, anak-anak dan remaja menjadi target sasaran sinetron bertema remaja dengan segala bentuk penyimpangannya.

Kondisi tersebut menuai banyak kritik dari masyarakat yang disampaikan melalui, baik melalui lisan maupun tulis. Banyak komentar di media sosial Facabook, youtube, WhatsApp, televisi, surat kabar, mural, meme internet; bahkan diulas dan dinarasikan menjadi karya seni sastra dan lagu.

Lantas, siapa yang salah? Pihak stasiun televisi , Badan Lembaga Sensor Indonesia  atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)?. Mereka harusnya lebih responsif dan peka mengenai masalah ini. Seharusnya, sebelum ditayangkan, sinetron dikaji terlebih dahulu. Di pilah sesuai genrenya dan bukan asal sensor.

Sehingga penyebab banyak sinetron berkualitas tidak jadi tayang atau berhenti di tengah-tengah. Dilihat dari hal tersebut, sejujurnya kualitas serial di Indonesia sendiri tidak jauh lebih baik dari anime dulu, bahkan lebih buruk. Seringkali tayangan sinetron lebih banyak membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan otak.

Yang ditayangkan kebanyakan adalah percintaan, gaya hidup konsumtif hingga obrol-obrolan yang tidak berkualitas serta tidak mendidik. Hal ini dapat dilihat dari cara penerapan di kehidupan kita. Dalam banyak sinetron ditemui anak-anak sekolah yang memakai seragam tidak rapih, dugem, mabuk-mabukan, perkelahian karena memperebutkan pacar, dan sikap orangtua yang sadis dan gemar menyiksa.

Selain itu, banyaknya adegan dalam sinetrn yang tidak masuk akal. Misalnya, adegan tabrak lari adalah adegan favorit untuk “membunuh” salah satu tokoh dalam sinetron, karena proses shooting yang mudah dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, yang menjadi masalah adalah proses saat tabrak lari tersebut. Seseorang yang sedang menyeberng jalan dengan melamun, tiba-tiba ada mobil atau truk yang berjalan dengan cepat sambil membunyikan klakson.

Ketika itu, orang tersebut bukannya lari atau menghindar. Ia malah diam di tempat sambil berteriak seakan-akan memang ingin ditabrak, sehingga adegan selanjutnya pun bisa ditebak. Hal ini selalu terjadi di setiap adegan serupa. Selain itu, penggambaran tokoh yang monoton, yaitu tokoh utama dalam sinetron atau tokoh protagonis biasanya digambarkan sebagai seorang yang baik hati, tidak sombong dan tokoh antagonis biasanya digambarkan sebagai serang yang jahat yang bisa menculik, membunuh orang lain atau gemar menyiksa.

Tentu, kritik-kritik yang disampaikan selain bermuarah pada produsen sinetron dan menyasar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tetapi kritik juga sesungguhnya tepat bermuarah pada masyarakat sebagai penikmat sinetron. Sebenarnya, masyarakat yang mau mempertahankan kondisi yang ‘mengganggu’ kehidupan baiknya dengan antusias menonton sinetron.

Karena itu, kita yang hidup dalam era perkembangan modern harus lebih kritis dalam memilih tontonan. Tidak lupa kita sebagai makhluk sosial jangan menyudutkan tayangan yang dianggap merusak tanpa tahu siapa hal positif yang ada di balik media tersebut.
Kondisi tersebut juga menjadi perhatian pemerintah. Jangan sampai, pemerintah membayar murah guru dengan tuntutan besar memperbaiki karakter dan akhlak anak-anak; sedangkan artis sinetron dibayar mahal untuk merusak akhklak anak-anak. ***