Opini  

Opini: Belajar di (dari) Rumah; Sebuah Refleksi Bagi Orang Tua

Bertolomeus Jawa Bhaga

Oleh: Bertholomeus Jawa Bhaga
IKIP Muhammadiyah Maumere

Situasi yang kian tidak menentu dengan belum menurunnya tren wabah Coronavirus, mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting guna menyelamatkan situasi pandemi ini salah satunya adalah belajar di (dari) rumah. Konsep belajar ini hemat saya akan timbul 2 kemungkinan situasi. Pertama, belajar di rumah dan belajar dari rumah. Belajar di rumah menggambarkan kondisi dimana pembelajar akan aktif mengeksplorasi dan mengelaborasi kemampuan serta segala macam sumber daya yang ada plus dibantu oleh orang tua. Sedangkan, kedua, belajar dari rumah menggambarkan situasi pebelajar juga aktif dan menggerakan semua kemampuan dan sumber daya salah satunya adalah media misalnya android dan ada kontak secara intens dengan gurunya.

Menarik untuk dibahas kali ini adalah belajar di rumah. Ada seseorang yang membagikan sebuah video berisi seorang lelaki tua sedang mengajarkan anaknya membaca. Dilatih melafalkan kata tertentu tetapi dibaca kata lain. Dari video ini tentu guru telah memberikan tugas tambahan untuk pebelajar agar dapat belajar dirumah tentang membaca. Dari video ini pula sebenarnya menjadi refleksi mendalam bagi orang tua dimanapun berada bahwa meningkatkan kemampuan kognitif pada anak gampang-gampang sulit.
Melalui kebijakan belajar di rumah, tentu akan menampilkan berbagai macam karakter anak saat belajar. Malas, tidak mendengar, tidak bekerja tuntas, dan hasrat untuk bermain yang lebih tinggi dibanding belajar. Karakter-karakter tersebut mungkin saja tidak pernah diketahui oleh orang tua dan hanya ada saat di sekolah.

Setelah beberapa pekan pemberlakuan belajar di rumah ini, tentu dapat dijadikan oleh orang tua untuk melihat diri lebih dalam tentang proses mendidik anak. Dengan membayangkan bahwa guru tidak hanya mendidik seorang anak, tetapi ada puluhan anak dengan berbagai macam karakter tentu menjadi sebuah tugas berat. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyadari bahwa guru tidak dapat menanggung sepenuhnya tugas dan beban moral pendidikan seorang anak. Harus ada bantuan orang tua untuk membentuk perilaku dan pengetahuan anak.

Pada skala waktu 24 jam, waktu anak di sekolah hanya kurang lebih 6-8 jam saja, selebihnya ada pada lingkungan keluarga di rumah. Melimpahkan segala “persoalan anak” sebagai ketidakbecusan guru bukanlah tindakan yang tepat. Orang tua harus memiliki dan merasa punya tanggungjawab yang sama dalam proses pendidikan anak, dan setiap masalah yang ada harus diselesaikan bersama, bukan justru menyalahkan guru mereka.

Sejak beredar rumor tentang rencana pembelajaran radio di Kabupaten Sikka (NTT) beberapa hari yang lalu, sebagai pemerhati pendidikan sekaligus sebagai akademisi merasa tidak terlalu sepakat dengan kebijakan tersebut. Berikut beberapa alasan yang mendasarinya antara lain :
1. Tidak semua siswa/i memiliki radio di rumahnya masing-masing. Ini menjadi alasan paling penting dan mesti dipertimbangkan dalam memutuskan penggunaan pembelajaran radio.
2. Tidak semua wilayah di kabupaten Sikka dapat menangkap atau memiliki jaringan pemancar radio yang bagus sehingga siaran pembelajaran radio dapat diikuti dengan baik oleh semua siswa/i di Kabupaten Sikka.
3. Ketidaksesuaian tema dan waktu pembelajaran antara sekolah yang satu dengan sekolah lain. Misalkan begini : sekolah A sebelum pandemi mungkin sudah sampai pada tema X, sedangkan ada sekolah B misalnya sebelum pandemi sudah sampai pada tema Y. Nah ini mesti dibuat suatu penyeragaman tema. Semua guru mata pelajaran sepakat mulai pada tema atau bab mana yang akan diperdengarkan di radio.
4. Hal terakhir ini agak sedikit teoritis yakni soal kemampuan menyimak. Pembelajaran radio,menuntut kemampuan menyimak yang maksimal. Artinya, jika ini menjadi pilihan alternatif maka semua pendengar radio (siswa/i) ini “harus” mempunyai kemampuan menyimak yang baik dan tidak terdistorsi oleh informasi yang tumpang tindih agar semua informasi penting yang disampaikan dapat diterima dengan baik pula karena kita tau : siaran radio (pembelajaran radio) tidak akan pernh diulang-ulang ataupun ada “resiprokal” antara pemberi materi dan pendengar. Misalnya apakah pemberi materi dapat bertanya ” sudah paham belum dengan materi yang diberikan?”.

BACA JUGA:  COVID-19 dan Resistensi Kebijakan PPKM

Dengan melihat berbagai kendala yg dihadapi baik masalah pandemi dan efek ikutan yang terjadi sehingga membias ke masalah lain yang lebih kompleks misalnya :
1. Penerapan pembelajaran radio jelas tidak akan dapat berlangsung pada semua daerah akibat keterbatasan pemancar signal.
2. Rencana pemberian tugas melalui aplikasi WA dan aplikasi lainnya menemui berbagai kendala seperti : ketersediaan sarana android yang belum merata bagi semua orang tua wali peserta didik.
3. Jika android ada,maka masalah lain yang timbul adalah keterbatasan ekonomi orang tua yang mana sebagai dampak dari pandemi terbatas untuk mencari uang sehingga tidak mampu untuk membeli paketan data agar dapat melaksanakan pembelajaran online.

Namun, selain berbagai dampak negatif yang timbul sebagai akibat dari kebijakan belajar di rumah, ada beberapa hal positif yang dapat dilihat sebagai berkat lain misalkan
1. Orang tua memiliki waktu yang memadai di rumah bersama anak-anak mereka. Selain dapat menghabiskan waktu yang berkualitas,juga menjadi saat yang tepat untuk memantau perkembangan belajar anak mereka sehingga prinsip “asal ada guru” yang bertanggungjawab lambat laun menjadi pudar oleh karena perpaduan peran yang luar biasa juga dari orang tua untuk anak-anak mereka.
2. Orang tua menjadi lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan anak-anak mereka sehingga anak merasa ada yang memberikan perhatian dan hal ini penting bagi perkembangan mental anak.
3. Orang tua dapat berperan ganda, yakni sebagai guru bagi anak-anak mereka karena orang tua akan dapat mempelajari karakter belajar masing-masing anak. Ini akan sangat membantu bagi perkembangan kognitif anak.
4. Mengakrabkan hubungan antara anak dan orang tua. Kadang sering terjadi anak menjadi jauh dan tidak akrab dengan orang tua oleh karena intensitas waktu kebersamaan. Nah dengan pandemi ini menjadi momen yang tepat untuk merajut kembali hubungan tersebut.
5. Lingkungan belajar anak menjadi fleksibel. Orang tua menjadi lebih kreatif untuk merancang suasana belajar anak mereka dan dengan itu anak akan menjadi at home, betah untuk belajar dan orang tua akan dengan leluasa masuk dalam suasana belajar anak yang lebih menyenangkan.
6. Belajar bersama anak akan memberikan kesempatan bagi orang tua untuk lebih leluasa memberikan berbagai “nilai” yang perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Karena apabila intimate telah terbentuk selama masa pandemi ini, di saat itulah orang tua banyak memberikan berbagai pelajaran tentang nilai hidup misalnya melalui narasi atau bentuk lainnya yang di dalamnya berisikan tentang kejujuran,tanggungjawab,hormat menghormati, tolong- menolong, toleransi dan nilai-nilai lainnya yang sangat berguna bagi kehidupan kedepannya.
7. Orang tua juga mengajak anak-anak untuk belajar tegar menghadapi masalah. Melalui pandemi ini, orang tua mesti mengajak anak mereka untuk menjadi pribadi yang tegar,kuat dan lebih lagi dari itu yakni menjadi pemecah masalah. Sehingga kelak di kemudian hari anak akan menjadi pribadi yang dinamis di segala macam keadaan.
Dari semua yang telah diuraikan itu maka hendaknya menjadi refleksi mendalam bagi orang tua untuk memakna peran masing-masing. Sebagai orang tua agar dapat memahami betapa sulitnya menjadi pengajar dan pendidik di tengah situasi sulit ini. Dan penulis teringat moto AUSAID seperti ini : untuk mendidik seorang anak, perlu peran serta seisi kampung. Bahwa membentuk seorang anak bukan hnya peran guru tetapi juga orang tua dan lingkungan sekitar. Sekian.