Opini  

MENYIAPKAN INFRASTRUKTUR (VENUE) PON 2028

Oleh: Paul J. Andjelicus (Perencana Madya Bidang Spasial Dinas Parekraf Provinsi NTT / Anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi NTT)

Paul J. Andjelicus

Usai sudah Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) NTT VIII yang berlangsung 12 – 18 November 2022 di Kupang. Merajut Kebersamaan Meraih Prestasi, menjadi tema Porprov kali ini yang sangat strategis karena menjadi bagian persiapan menyongsong PON 2028. Prestasi yang ingin diraih adalah menyiapkan atlit, infrastruktur dan aspek pendukung lainnya untuk PON 2028. Kebersamaan, kolaborasi semua pelaku menjadi kunci. Kata orang “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”

NTT bersama NTB telah ditetapkan menjadi tuan rumah bersama PON tahun 2028. Event olahraga empat tahunan ini diyakini dapat memberikan keuntungan bagi tuan rumah. Baik aspek pembinaan prestasi olahraga maupun keuntungan ekonomi, karena banyak menghadirkan atlet, ofisial, penonton dan wisatawan. Dampak ekonomi begitu besar. Apalagi aspek pariwisata NTT dan NTB menjadi nilai tambah sebagai tuan rumah PON. Tulisan ini merupakan sumbang saran dan gagasan untuk menyiapkan pelaksanaan PON 2028 dari aspek penyediaan infrastruktur khususnya arena pertandingan (venue).

Berbicara mengenai tuan rumah penyelenggaraan multi event olahraga seperti PON, Sea Games, Asian Games dan Olimpiade, maka tidak terlepas dari dukungan infrastruktur khususnya arena pertandingan (venue). Belajar dari Papua yang dengan segala keterbatasannya, tapi berani menggelar peristiwa olahraga nasional terbesar. Papua dengan berani menerima tawaran pemerintah pusat untuk menjadi tuan rumah PON 2021, karena yakin dengan menjadi tuan rumah PON banyak manfaat yang akan diperoleh, seperti mengakselerasi pembangunan daerah dan kesempatan emas untuk mengejar ketertinggalan daerahnya. Ini menjadi kesempatan emas bagi NTT juga. NTT Bisa.

Waktu tersedia hanya 6 tahun untuk menyiapkan pelaksanaan PON 2028. Banyak aspek yang harus disiapkan. Rencana induk pelaksanaan perlu segera disusun. Salah satunya adalah kesiapan infrastruktur khususnya venue. Kondisi venue yang dimiliki NTT harus diakui masih kurang dan banyak yang belum sesuai standar nasional dan internasional. Kompleks Olahraga Oepoi Kupang yang terdiri dari stadion dan GOR Flobamora perlu direhabilitasi besar-besaran untuk layak menjadi venue yang bertaraf internasional. Kesiapan anggaran juga perlu menjadi pertimbangan karena butuh dana yang tidak sedikit.

Untuk PON 2021 kemarin, disamping dukungan pusat, Papua menyiapkan anggaran sebesar 3-5 Triliun dari APBD untuk berbagai persiapan termasuk membangun sejumlah venue baru. Papua membangun pusat olahraga (sport centre) baru di Jayapura dengan lahan seluas 32 Ha. Pada kawasan ini terdapat Stadion Papua Bangkit dengan kapasitas 40.000 penonton dan berstandar FIFA. Beberapa venue lainnya adalah GOR, kolam renang, lapangan panahan, wisma atlit, arena balap sepeda, lapangan panahan, area komersial. Sementara venue lainnya tersebar pada beberapa kabupaten seperti Jayapura, Mimika dan Merauke.

Sebagai perbandingan, rehabilitasi stadion Manahan Solo untuk Piala Dunia U-20 tahun 2023 membutuhkan biaya 300 Milyar. Biaya sebesar itu untuk memastikan stadion sesuai standar FIFA seperti lapangan rumput, tribun terbuka menjadi tertutup, kursi penonton single seat, sistem pencahayan minimal 2000 lux, sirkulasi untuk kondisi darurat stadion yang mampu dikosongkan dalam waktu 15 menit, fasad bangunan sampai penataan kawasan sekitar stadion.

Terkait dengan persiapan infrastruktur venue, ada beberapa gagasan yang dapat menjadi pertimbangan. Pertama; Membangun sebuah sport centre baru yang representatif. NTT perlu membangun sebuah kompleks olahraga terpadu yang terdiri dari beberapa venue pertandingan termasuk stadion utama dengan kapasitas minimal 40.000 penonton (single seat), penginapan atlit dan sarana rekreasi yang dapat digunakan masyarakat umum pasca PON. Sport centre yang bisa menjadi model adalah Kompleks Jakabaring Sport City, berjarak sekitar 5 km dari Palembang. Pada kompleks seluas 325 Ha dengan pusat Stadion Utama Gelora Sriwijaya, terdapat 14 venue lainnya seperti stadion atletik, kolam renang, lapangan tenis termasuk wisma atlit dan gedung sport science, ruang terbuka hijau, danau buatan untuk olahraga air (ski air dan dayung) sekaligus tempat rekreasi. Kesiapan lahan minimal 50 – 100 Ha dengan akses yang mudah dijangkau dari beberapa kawasan, sudah dapat menghadirkan sebuah sport centre yang lengkap dan dapat menjadi ikon baru NTT.

BACA JUGA:  Antara Pendidikan Intelektual dan Pendidikan Karakter

Ketersediaan lahan di Kupang jadi faktor penentu, namun membangun sport centre di luar Kupang dapat menjadi pilihan yang baik. Pembangunan sport centre di kawasan pinggiran kota dapat berfungsi menjadi kota satelit atau kota baru dengan fasilitas pendukung seperti perumahan, kawasan komersil dan sekolah olahraga. Ini merupakan salah satu strategi pengembangan wilayah sehingga tidak berpusat dan membebani kota Kupang. Alternatif lainya pembangunan sport centre dilakukan pada kota yang masuk dalam kawasan-kawasan prioritas pengembangan seperti pariwisata (Labuan Bajo) dan daerah perbatasan (Atambua). Hal ini tentu butuh kajian mendalam. Pembangunan sport centre di NTT juga mempertimbangkan pengembangan olahraga di daerah. Tidak semua fasilitas olahraga dibangun terpusat namun beberapa venue lainnya dapat dibangun di tempat lain.

Kedua; Skenario penyiapan lokasi pertandingan. Ini membutuhkan koordinasi dengan NTB terkait pembagian cabang olahraga yang dipertandingkan di kedua provinsi. Untuk NTT, terdapat sejumlah skenario. Lokasi pertandingan dipusatkan di Kupang dan sekitarnya atau lokasi pertandingan berpencar di beberapa kabupaten seperti untuk daratan Timor dengan kota penyelenggaraan di Kupang, SoE, dan sekitarnya. Demikian juga untuk Flores dan Sumba. Skenario lainnya adalah lokasi pertandingan menyebar di beberapa kabupaten disesuaikan dengan potensi keunggulan olahraga dan venue yang sudah ada seperti lokasi olahraga berkuda di Sumba, sepakbola di beberapa kota di Flores dan atletik di Timor. Kerugiannya koordinasi dan akses peserta dan ofisial yang relatif sulit pada saat pelaksanaan. Keuntungannya daerah punya fasilitas olahraga yang baik untuk pembinaan olahraga selanjutnya sehingga punya generasi atlit yang tangguh di masa mendatang.

Ketiga; Konsep pemanfaatan dan pemeliharaan pasca PON. Aspek ini sering menjadi masalah bagi tuan rumah setelah selesai menggelar sebuah multi event olahraga. Banyak venue yang dibangun tidak terawat dan jarang difungsikan. Perawatan dan pemeliharaan menjadi krusial, karena membutuhkan dana yang tidak sedikit dan selalu tergantung pada anggaran pemerintah. Kawasan Jakabaring juga menemui kendala biaya perawatan karena setiap bulannya butuh anggaran hampir Rp3 milyar. Untuk Stadion Papua Bangkit saja diperlukan biaya sekitar Rp1 milyar sebulan, ini belum untuk venue lainnya.

Menyikapi hal ini, beberapa cara yang dapat ditempuh antara lain adalah pembangunan venue yang mudah diakses dengan transportasi publik. Lokasi yang mudah diakses dari berbagai lokasi menjadi pertimbangan utama dalam menggelar berbagai event kegiatan pasca PON. Adanya kesinambungan menggelar event olahraga setiap tahun baik tingkat lokal, nasional bahkan internasional. Masyarakat umum juga dapat memanfaatkan berbagai fasilitas untuk menggelar kegiatan non olahraga termasuk kegiatan rekreasi. Kemudian perlu memadukan fasilitas olahraga yang ada dengan industri pariwisata agar pemanfaatan kawasan olahraga tersebut lebih maksimal dan tidak tergantung anggaran dari pemerintah seperti yang telah dirintis pengelola Jakabaring Sport City beberapa tahun terakhir.
(*)