Oleh
Leo de Jesus Leto, SVD
(Tinggal di Chile)
Istilah revolusi tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam konteks Indonesia kita sudah sering mendengar jargon revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi pada Pemilihan Presiden 2014 yang silam. Jauh sebelum revolusi mental dicetuskan ke hadapan publik sudah pernah terjadi banyak gerakan revolusi di pelbagai belahan dunia. Beberapa gerakan revolusi spektakuler dalam sejarah umat manusia bisa dicantumkan sebagai berikut. Revolusi industri di Inggris 1760. Revolusi ini terjadi tidak terlepas dari lahirnya para ilmuwan saat itu. Misalnya, Thomas Newcomen penemu pertama mesin uap yang kemudian dimodifikasi oleh James Watt, Galileo Galilei, Francis Bacon dan Rene Descartes. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan saat itu menyebabkan perubahan besar-besaran dalam bidang pertanian, komunikasi, pertambangan, transportasi dan manufaktur. Revolusi Prancis 1789 dengan semboyan termasyhurnya liberte, egalite dan fraternite. Gerakan revolusi ini berhasil meruntuhkan sistem monarki Prancis yang sangat kokoh dan bertahan lama selama bertahun-tahun melalui tragedi penyerangan ke penjara Bastille yang menyebabkan kepala raja Louis XVI dan gubernur Bernard Rene de Launey dipotong lalu dipertontonkan kepada publik.
Slogan “ajaib” liberte, egalite dan fraternite menjadi cikal bakal berhembus kencangnya angin liberalisme dan demokrasi yang sebelumnya tidak diberi ruang untuk menampilkan diri di atas papan catur politik Prancis. Api revolusi Prancis yang sungguh dahsyat itu mampu mengubah secara radikal tatanan sosial dan sistem politik yang cukup signifikan, bukan hanya bagi masyarakat Prancis, melainkan juga bagi masyarakat Eropa dan seluruh dunia. Revolusi Amerika Serikat yang diprakarsai oleh Samuel Adams, Thomas Jefferson dan kawan-kawan dalam menentang kebijakan pajak komoditi dari pemerintah Inggris yang sangat memberatkan masyarakat koloni Amerika. Salah satu gerakan paling fenomenal dalam revolusi Amerika ialah peristiwa The Boston Tea Party yang kemudian berdampak pada deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776 dari Britania Raya. Beberapa hal terpenting yang lahir dari revolusi ini ialah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk bahagia dan kesetaraan yang kemudian dikenal sebagai piagam hak asasi manusia.
Revolusi unik berbasis pada nilai-nilai spiritual dan moral, yakni tanpa kekerasan (ahimsa) dan peneggakan kebenaran (satyagraha) di India yang digagas oleh Mohandas Karamchand Gandhi dalam menentang kolonialisme Inggris. Model revolusi Gandhi ini kemudian diadopsi oleh Martin Luther King Jr dan Nelson Mandela dalam menentang problem rasisme yang telah berakar kuat di Afrika Selatan dan Amerika Serikat. Revolusi Rusia terjadi dalam dua fase. Pertama, revolusi Februari 1917 yang dinahkodai oleh Alexander Kerensky yang berhasil merontokkan monopoli politik kekaisaran Rusia pimpinan Tsar Nikolas II dan mengubah sistem pemerintahan monarki menjadi republik liberal. Kedua, revolusi Oktober 1917 yang dimotori oleh Leon D. Trotsky dan Vladimir Lenin dari partai Bolshevik yang mengganti sistem politik liberal menjadi komunis. Revolusi politik negri Tiongkok 1911 yang dipimpin oleh Sun Yat Sen dalam upaya untuk meluluhlantakkan dinasti Qing yang sangat feodal dan korup menjadi republik demokratis. Sesudah revolusi Sun Yat Sen, muncul revolusi 1949 dan revolusi 1966 pimpinan Mao Zedong yang mengubah karakter sosio-politik negri Tirai Bambu ke dalam tradisi leluhur bangsa Tiongkok (Lukman Santoso Az, 2014).
Merujuk pada fakta gerakan revolusi di atas, maka bisa dirumuskan bahwa pada hakekatnya telos (tujuan) dari setiap gerakan revolusi ialah supaya terjadi perubahan secara cepat dan menyeluruh dalam tatanan kehidupan masyarakat. Gerakan-gerakan revolusi bisa berwujud radikal-anarkis dan bisa juga terjadi melalui jalan damai ala Mahatma Gandhi di India. Jadi, sari pati dari sebuah gerakan revolusi ialah mengubah tatanan kehidupan masyarakat dari kondisi yang tidak baik (buruk) menjadi lebih baik yang ditandai dengan adanya kebebasan, keadilan, kesetaraan dan kemakmuran hidup bagi semua klas manusia.
Lantas, apa kaitannya antara narasi gerakan-gerakan revolusi di atas dengan perayaan Natal umat kristiani? Secara horizontal memang tidak ada kaitannya sama sekali. Tetapi, kalau merujuk pada rumusan definisi revolusi di atas, maka peristiwa Natal yang diyakini oleh kaum Kristiani sebagai hari kelahiran Yesus Sang Raja Damai, bisa dilihat sebagai sebuah gerakan revolusi. Saya menamainya sebagai revolusi Surga. Karena itu, sebetulnya jauh sebelum gerakan-gerakan revolusi dunia itu lahir, Allah sudah lebih dahulu melakukan gerakan revolusi Surga, yaitu Natal. Dalam perspektif teologis, revolusi Surga dalam konteks ini berarti proses inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia konkret dalam diri seorang bayi mungil, yaitu Yesus Kristus. Di dalam dan melalui peristiwa Natal, Allah yang Agung dan tak terjangkau oleh indera manusia turun dari takhtaNya yang suci ke dalam dunia (kandang binatang) untuk menunjukkan diriNya kepada manusia yang rapuh dan telah najis. Dalam aktus revolusi Surga, Allah yang Mahakuasa dan Mulia mengutus Putra TunggalNya untuk meninjau langsung kondisi hidup manusia yang sedang mengalami dekadensi iman dan moral.
Revolusi ini bertolak dari factum kondisi hidup manusia yang sudah salah dalam melangkah dan terperangkap dalam jebakan kuasa kerajaan maut yang cukup mematikan. Namun, kondisi berbahaya ini tidak disadari oleh manusia, lantaran dibungkus rapi oleh kerajaan setan dengan busana hedonisme, kosumerisme dan egoisme. Situasi ini membuat manusia merasa mapan dan karena itu, ingin terus menikmati lezatnya kue dan anggur dalam pesta pora kerajaan setan sampai lupa pada akibat fatal yang akan menimpa dirinya di kemudian hari. Kedatangan Sang Putra Mahkota Kerajaan Allah ke dalam dunia membawa sejuta kabar baik yang di dalamnya terkandung garansi akan kehidupan, kebahagiaan dan kedamaian yang autentik bagi manusia. Revolusi Surga merupakan peristiwa di mana Allah ingin mengubah kondisi hidup manusia secara total, yaitu mengeluarkannya dari jurang kegelapan menuju terang kehidupan. Revolusi Surga tidak sama dengan gerakan-gerakan revolusi dalam narasai-narasi di atas. Ia merupakan antitesis dari gerakan-gerakan revolusi berdarah dalam sejarah umat manusia. Ada distingsi yang cukup mencolok antara revolusi Surga dan revolusi-revolusi dunia. Dalam catatan sejarah terlihat bahwa kebanyakan gerakan revolusi dunia diwarnai dengan drama pembantaian dan penggulingan para penguasa politik oleh kaum revolusioner lantaran dinilai cukup buruk, yaitu feodal, otoriter dan korup. Sementara itu, revolusi Surga menempuh jalan damai. Di dalamnya Sang Revolusioner sejati, yaitu Yesus Sang Raja Damai justru membiarkan diriNya untuk dihina dan dibantai oleh mereka yang anti terhadap gaya hidup dan menolak ajaranNya. Pemberian diri Sang Revolusioner Surga untuk disiksa dan dibunuh oleh kaum penjahat bukan karena Ia lemah dan tak sanggup melawan para pemimpin agama dan penguasa saat itu, melainkan misi revolusiNya didasari pada hukum kasih tanpa batas (agape) dan prinsip perdamaian abadi. Karena itu, sesungguhnya revolusi Surga merupakan praktik kasih, solidaritas dan kepedulian tak terhinnga dari Allah terhadap manusia hasil rancangan tanganNya.
Model yang diterapkan dalam revolusi Surga ialah menyampaikan kabar kehidupan yang terbaik kepada manusia (the good news). Bagi mereka yang menerima kabar baik itu dan percaya kepada Yesus Sang Raja Damai akan dibebaskan dari perangkap kerajaan setan dan kemudian tentu diselamatkan olehNya. Pada dasarnya gerakan revolusi Surga tidak didasarkan pada alasan-alasan politis dan ambisi untuk merebut kekuasaan politik dengan cara anarkis guna membentuk sebuah pemerintahan baru. Hal ini bisa dilihat dari jawaban Yesus terhadap pertanyaan yang diajukan oleh gubernur Pilatus, penguasa Romawi di tanah Palestina tentang status Yesus dalam masyarakat Yahudi. Yesus dengan lantang berkata kepada Pilatus: “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; Jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, maka hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini,” (Yoh.18:36).
Revolusi ini hadir ke dalam dunia untuk menawarkan kepada manusia soal masa depan hidup yang terbaik melalui sebuah misi pembebasan seperti yang tersirat dalam manifesto Yesus berikut ini: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang,” (Lukas 4:18-19). Manifesto ini dibangun di atas fondasi spiritualitas kasih dan prinsip moral yang selalu mengedepankan nilai kemanusiaan, kebaikan, keadilan, kebenaran dan kesetaraan. Praktik dari manifesto ini bisa kita lihat dalam gaya hidup Yesus yang sangat fleksibel, terbuka kepada semua orang dari berbagai latar belakang sosial, budaya, bangsa dan kasihNya tak terhingga kepada kaum marginal, kaum berdosa dan orang-orang kecil melalui mujizat-mujizatNya di negri Palestina.
Revolusi Surga tidak berorientasi pada pencarian popularitas, jabatan dan kekayaan sebab memang Allah tidak membutuhkan itu. Revolusi Surga terarah pada pembebasan jiwa-raga, hati dan pikiran seluruh warga manusia yang telah bertambat pada paham radikalisme ekstrem yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan memperkosa nilai-nilai moral. Orientasi revolusi Surga selalu terarah pada misi untuk meruntuhkan kuasa kerajaan maut yang merajai hati dan pikiran manusia serentak menggantinya dengan mendirikan Kerajaan Allah di dalam hati, pikiran dan hidup manusia. Atas dasar ini, jelas bahwa revolusi Surga hadir bukan untuk merebut kekuasaan politik dan teritori tertentu, melainkan ia hadir ke dalam dunia untuk merebut hati, pikiran dan hidup manusia dari belenggu kerajaan iblis. Titik klimaks dari revolusi Surga ialah drama pengadilan di halaman istana Pilatus dan tragedi berdarah di puncak bukit Golgota.
Natal merupakan saat istimewa di mana Allah telah menjadi manusia dan datang melawat gubuk kehidupan manusia. Ia yang kudus mewujudkan diriNya sama dengan manusia dengan maksud untuk mengisi tempayan hati dan pikiran manusia dengan anggur kasih, kedamaian, keadilan, kebenaran, pengampunan, persaudaraan dan solidaritas. Tapi, terkadang manusia hasil karya tangan Allah itu tak ingin membuka diri kepadaNya, justru berupaya untuk menjadikan dirinya sebagai oposisi Allah dan berkeinginan merebut posisi Tuhan. Natal mengajak setiap kaum Kristiani agar mengubah gaya hidup lama yang sarat dengan keangkuhan, ketamakan, egoisme, iri hati, balas dendam, mental feodal, koruptif, sukuis, praktik ketidakadilan, penindasan terhadap umat sederhana dan perampasan hak kaum marginal-miskin. Revolusi Surga mengajak kaum Kristiani untuk melucut mantel hidup lama yang sudah usang dan ternoda oleh dosa dengan busana damai Natal yang menyejukan hati dan jiwa.
Makna dari ritual Natal tidak pernah terletak pada megah dan indahnya aksesoris-aksesoris Natal seperti yang terpajang dalam gereja, rumah, tempat-tempat publik dan kerennya pakaian baru, melainkan makna terdalam dari perayaan Natal terletak pada bagaimana seharusnya kaum Kristiani mengarahkan hati, pikiran dan batin untuk masuk lebih jauh ke dalam konteks historis kelahiran Yesus di dalam kandang binatang di kota Betlehem guna menimbah spiritualitas kasih, damai, kejujuran, kerendahan hati, solidaritas, kebenaran, kesetaraan, kesederhanaan, persaudaraan dan lain sebagainya untuk kemudian diaplikasikan ke dalam kehidupan praktis sehari-hari terutama di masa pandemi Covid-19 dan situasi dunia yang kian menjauh dari keutamaan-keutamaan moral. Dengan demikian kita sungguh akan merasakan hadirnya revolusi Surga dalam hidup kita dan sudah tentu menjadi warga Kerajaan Allah. (*)