Opini  

COVID-19 dan Resistensi Kebijakan PPKM

Agustinus Blida Muda

Oleh: Agustinus Blida Muda
(Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang)

COVID-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19 dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan, mulai dari gejala yang ringan seperti flu, hingga infeksi paru-paru, seperti pneumonia. COVID-19 (coronavirus disease 2019) adalah jenis penyakit baru yang disebabkan oleh virus dari golongan coronavirus, yaitu SARS-CoV-2 yang juga sering disebut virus Corona. Kasus pertama penyakit ini terjadi di kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019. Setelah itu, COVID-19 menular antarmanusia dengan sangat cepat dan menyebar ke puluhan negara, termasuk Indonesia, hanya dalam beberapa bulan, penyebarannya yang cepat membuat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown untuk mencegah penyebaran virus Corona. Di Indonesia, pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk menekan penyebaran virus ini.

Dalam dua tahun terakhir kata COVID-19 sudah tidak asing di telinga kita. Awalnya hanya dianggap flu biasa dan akhirnya menjadi pandemi. Sudah banyak korban meninggal dunia karena pandemi ini. Banyak pihak yang menyayangkan lambatnya penanggulangan kasus ini, pemerintah dianggap lambat dalam menangani masalah ini. Mungkin kalau ditangani sejak awal tidak akan banyak korban meninggal dan tidak akan banyak penularan yang terjadi. Akan tetapi kita juga tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah, karena kasus ini tidak akan bisa diatasi tanpa adanya kerja sama yang baik dari semua pihak.

Masyarakat sendiri awalnya juga menganggap remeh virus ini. Mereka menganggap bahwa Indonesia akan aman-aman saja. Himbauan-himbauan yang diberikan oleh pemerintah juga dianggap angin lalu. Mereka lebih percaya terhadap berita-berita yang di share melalui media sosial, dan mereka dengan mudahnya ikut menyebar luaskannya tanpa mencari tau kebenaran dari berita tersebut. Mendadak semua menjadi dokter, semua menganggap setiap berita yang dibaca adalah berita yang valid. Akibatnya mereka sangat percaya diri bahwa mereka tidak akan tertular oleh virus COVID-19.

Awalnya sosial distancing yang digaungkan pemerintah juga tidak dianggap. Banyak masyarakat masih berkumpul dengan mengabaikan protokol kesehatan. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah orang yang terpapar COVID-19 semakin hari semakin banyak. Akan tetapi masyarakat masih belum sadar terhadap bahaya virus ini. Sebenarnya pemerintah juga sudah melakukan banyak upaya untuk menekan penyebaran virus ini. Seperti mengkampanyekan protokol kesehatan, sosial distancing, pembatasan sosial beskala besar dan terakhir PPKM mikro luar Jawa Bali.

Menurut Kementrian Kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID  protokol kesehatan yang wajib ditaati masyarakat yang paling penting adalah menjaga kebersihan tangan. Tangan merupakam media penyebaran virus paling utama, bersihkan tangan dengan menggunakan cairan pencuci tangan atau hand sanitizer meskipun tangan tidak terlihat kotor, jika tangan kotor bersihkan dengan menggunakan sabun. Biasakan mencuci tangan setelah dari lingkungan luar atau memegang sesuatu. Cara mencuci tangan harus mengikuti aturan standar yang sudah ada, yaitu mencuci tangan bagian dalam, punggung, sela-sela dan ujung-ujung jari. Kemudian yang kedua jangan menyentuh wajah, dengan adanya pandemi covid-19 tangan menjadi media paling mudah terkena virus, usahakan tidak menyentuh wajah, menggaruk-garuk wajah khususnya mata, hidung dan mulut. Tangan kita bisa saja terdapat virus yang diperoleh dari aktifitas yang kita lakukan di luar rumah. Jika tangan tidak bersih dan kemudian menyentuh wajah maka virus dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh. Terapkan etika batuk dan bersin, etika saat batuk yaitu menutup mulut dan hidung dengan menggunakan lengan atas bagian dalam pada saat batuk atau bersin.

Meskipun tidak ada virus di tubuh kita etika batuk dan bersin harus tetap diterapkan. Selanjutnya menggunakan masker, gunakan masker saat anda keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain. Bagi anda yang tidak memiliki gejala bisa menggunakan masker non medis, namun bagi anda yang memiliki gejala gunakanlah masker medis yang dapat digunakan 1 kali, dan setelah digunakan harus dibuang ke tempat sampah yang tertutup kemudian cuci tangan setelah memegang masker tersebut. Protokol kesehatan selanjutnya yaitu menjaga Jarak, untuk menghindari terjadinya paparan virus dari orang ke orang lain, kita harus senantiasa menjaga jarak dengan orang lain minimal 1 meter. Kita dilarang untuk berkumpul dan berkerumunan untuk meminimalisir kontak fisik dengan orang lain. Isolasi mandiri, bagi anda yang kurang sehat sebaiknya secara sukarela bersedia berdiam di rumah. Tidak mendatangi tempat kerja, sekolah atau tempat umum lainnya karena mungkin saja memiliki resiko infeksi COVID-19 dan dapat menularkan ke orang lain. Kemudian yang terakhir menjaga kesehatan, istirahat yang cukup perlu diterapkan dalam upaya menjaga kesehatan selama pandemi COVID-19 ini.

Meski masih bersifat kasuistis, di sejumlah daerah kita tidak menutup mata adanya kasus penolakan sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat. Di DKI Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain, seperti diberitakan di media massa dan media sosial, sebagian masyarakat melakukan penolakan dan perlawanan ketika hendak ditertibkan petugas. Mereka tidak hanya berteriak-teriak memprotes penetapan kebijakan PPKM darurat, tetapi juga sebagian bahkan ada yang berani melemparkan batu ke aparat dan melaklukan aksi anarkistis lainnya. Di Kota Kupang banyak sekali kejadian yang menunjukan bahwa masyarakat tidak lago percaya atau peduli dengan COVID-19 salah satunya yaitu pengambilan mayat oleh keluarga di Rs. Siloam Kupang tanpa menggunakan masker dan juga pencurian mayat di pekuburan umum Fatukoa pada beberapa bulan lalu. Masyarakat Kota Kupang sendiri banyak yang asih berkeliaran di jalanan tanpa menggunakan masker.

BACA JUGA:  Pusat Sains Tilong Destinasi Wisata Edukasi IPTEK Pertama di NTT

Pada intinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa masyarakat bersikap resistan. Pertama, karena adanya perbedaan penerapan standar pemberlakuan kebijakan pembatasan dan bahkan sebagian dirasa masyarakat inkonsisten. Karena itu, hasilnya pun tidak berjalan efektif seperti yang diharapkan. Dalam banyak kasus, penerapan protokol kesehatan cenderung dilakukan dengan ancaman sanksi dan penerapan yang lebih banyak memperlakukan masyarakat sebagai terdakwa daripada sebagai korban situasi. Bisa dibayangkan, apa yang ada pada benak masyarakat ketika orang kecil yang melanggar protokol kesehatan didenda, sementara orang lain yang melanggar tidak diperlakukan sama. Masyarakat saat ini merasa pemberlakuan kebijakan PPKM darurat dalam beberapa kasus bersifat ‘tebang pilih’ sehingga jangan heran jika kemudian muncul resistansi. Berkaitan dengan desakan kebutuhan riil sehari-hari yang tidak bisa ditunda. Pemberlakuan kebijakan penyekatan dinilai tidak menyelesaikan dan bukan sebagai jalan keluar yang adil.  

Dengan adanya PKKM ini muncul oknum dan orang-orang tertentu yang mencoba mengali di air keruh. Ketika banyak masyarakat membutuhkan oksigen dan obat untuk bekal melakukan isolasi mandiri, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Di berbagai daerah, sudah bukan rahasia lagi jika tabung oksigen kosong dan obat parasetamol pun menghilang dari pasaran. Para spekulan yang hanya mengejar keuntungan besar dalam tempo cepat biasanya tidak peduli pada penderitaan korban COVID-19. Bagi mereka yang terpenting ialah bagaimana mendapatkan keuntungan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Masyarakat yang sehari-hari hidup dalam penderitaan dan tekanan kebutuhan hidup yang kronis umumnya menjadi korban pertama akibat ulah spekulan yang tak memiliki hati itu. Masyarakat yang merasa menjadi korban dari proses komersialisasi bencana COVID-19 ini akhirnya lebih memilih jalan pintas, yakni bagaimana tetap bisa mencari nafkah sembari menghindari kemungkinan menjadi korban penyebaran virus COVID-19.  

Apakah pemberlakuan kebijakan PPKM darurat akan berhasil efektif menurunkan laju penyebaran COVID-19, tentu, masih harus menunggu waktu. Saat ini, bahkan ada indikasi kebijakan pemberlakuan PPKM darurat ini akan terus diperpanjang jika memang penurunan kasus COVID-19 belum signifikan. Berharap masyarakat dan para pelaku usaha 100% mendukung penerapan kebijakan PPKM darurat harus diakui agak sulit dilakukan. Berbeda dengan kondisi setahun lalu, ketika pada awal pandemi COVID-19 terjadi, masyarakat masih memiliki penyangga situasi krisis, saat ini tabungan yang dimiliki masyarakat umumnya sudah terkuras habis selama masa pandemi COVID-19 yang sudah berjalan sekitar 1,5 tahun. Dengan tidak dimilikinya daya dukung ekonomi yang cukup, tentu wajar jika masyarakat tidak mungkin mau tetap berdiam diri di rumah tanpa sumber pemasukan yang cukup. Resistansi masyarakat yang timbul di berbagai daerah terjadi bukan karena subkultur mereka yang memang susah diatur atau karena secara kultural kaku dan setiap daerah berbeda-beda. Berbagai bentuk perlawanan dan reaksi penolakan sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat perlu dipahami sebagai sinyal bahwa ambang batas masyarakat untuk dapat bertahan hidup benar-benar pada titik kritis. Untuk memastikan agar masyarakat tidak benar-benar sengsara dan mau mematuhi protokol kesehatan, kuncinya ialah empati dan dukungan yang nyata terhadap kelangsungan hidup masyarakat.

Bantuan sosial yang disalurkan seadanya dan  bersifat ala kadarnya dan hanya menyasar sekelompok kecil orang. Korban pandemi COVID-19 selama ini telah menembus dan melewati batas kelas sosial masyarakat. Artinya, masyarakat yang menjadi korban tidak hanya kelas masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah yang kehilangan pekerjaan dan usaha. Mereka semua niscaya membutuhkan uluran tangan pemerintah. Jangan sampai terjadi, akibat kurangnya dana yang dimiliki pemerintah, justru masyarakat yang diminta untuk menahan diri dan ikut berpartisipasi mematuhi protokol kesehatan dengan mengabaikan kondisi ekonomi keluarga mereka yang sudah di titik kesanggupannya..

Upaya-upaya mulai dari pemberakuan kebijakan protokol kesehatan hingga pemberlakuan PPKM level satu sampai level 4  tersebut tidak akan ada artinya jika masyarakat tidak mematuhinya. Pandemi ini memang sangat berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Terutama sangat berdampak kepada perekonomian masyarakat sendiri. Satu sisi mereka juga takut akan tertular virus ini, tetapi juga mereka berjuang untuk tetap dapat hidup ditengah pandemi ini. Sehingga banyak masyarakat yang saling menyalahkan satu sama lain. Yang sudah patuh diam dirumah menyalahkan yang masih keluar dijalan. Padahal kalau boleh memilih mereka juga mau tinggal diam dirumah, akan tetapi mereka tidak punya pilihan tersebut karena haru bekerja. Saat ini semua bebas berpendapat dan bebas menghakimi orang lain tanpa tahu latar belakang masalahnya.

Kita sebagai masyarakat yang taat dibawa hukum maka kita perlu menanamkan kesadaran di dalam diri sendiri untuk selalu mematuhi setiap anjuran yang diberikan. Kalau masih seperti sekarang sampai kapan pandemi ini akan berakhir di Indonesia. Semoga masyarakat segera sadar akan bahaya virus ini dan semoga pandemi ini akan segera berakhir, sehingga kita bisa hidup normal seperti sedia kala. (*)