Daerah  

Kota Kupang; Kesehatan Mental, Gereja dan Kita

Salah satu TKP kejadian bunuh diri di Kota Kupang. (Foto: Eman Krova)

DALAM kurun waktu 4 bulan belakangan, sebanyak tiga orang mahasiswa di Kupang yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Dua korban memilih gantung diri, satu lainnya, mengambil jalan nahas mengakhiri ziarah hidupnya dengan lompat ke Jembatan Liliba, Kota Kupang.

Mereka sama-sama ditemukan tewas, tidak berdaya dan tidak bisa tertolong.
Pertama, Mahasiswi Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kupang berinisial AKL bunuh diri dengan cara melompat dari Jembatan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (10/10/2023).
Kedua, Pekan kemarin, Warga RT 13 B/RW 06, Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), dihebohkan peristiwa gantung diri.

Seorang mahasiswa berinisial ARD alias Atan (24) ditemukan tewas gantung diri.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang ditemukan tewas dalam kamar kostnya di wilayah Penfui, Senin (30/10/2023) siang. Mahasiswa jurusan Ilmu Politik semester XIII ini ditemukan tewas dengan posisi gantung diri menggunakan tali di kamar ujung.

Ketiga, pada bulan September lau, seorang mahasiswa Politeknik Negeri Kupang bernama Samuel Dudeng alias Lais (23) ditemukan meninggal dunia dengan kondisi tubuh sedang tergantung didalam kamar kos milik Thomas Fongo di Dusun III RT 20 RW 06 Desa penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sabtu (16/9) sore.

Saat ditemukan kondisi mayatnya sudah membusuk dan sedang tergantung pada seutas kabel yang terikat pada leher korban dan disambungkan pada salah satu baja ringan yang menjadi penyangga atap kos.

Mengutip berbagai sumber lokal, hampir semua mereka yang mengakhiri hidup secara paksa pakai jalan sendiri paling tidak disebabkan oleh masalah batin atau mental.
Meskipun gosip soal bunuh diri di Kota Kupang mencuat, belum ada dengungan dari pemerintah, LSM maupun gereja soal masalah yang dianggap ‘tidak’ terlalu mencuri perhatian ini.

Padahal, semua orang yang memilih mengakhiri hidup paling tidak berangkat dari satu permasalah yakni kesehatan mental.

Kesehatan Mental

Merujuk artikel Halodoc, diketahui, kesehatan jiwa atau sebutan lainnya kesehatan mental adalah kesehatan yang berkaitan dengan kondisi emosi, kejiwaan, dan psikis seseorang.

Bagi banyak orang, peristiwa dalam hidup yang berdampak besar pada kepribadian dan perilaku seseorang bisa berpengaruh pada kesehatan mentalnya.

Misalnya, pelecehan saat usia dini, stres berat dalam jangka waktu lama tanpa adanya penanganan, dan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Berbagai kondisi tersebut bisa membuat kondisi kejiwaan seseorang terganggu, sehingga muncul gejala gangguan kesehatan jiwa.

Akan tetapi, masalah kesehatan mental bisa mengubah cara seseorang dalam mengatasi stres, berhubungan dengan orang lain, membuat pilihan, dan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri.

Beberapa jenis gangguan mental yang umum terjadi antara lain depresi, gangguan bipolar, kecemasan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), gangguan obsesif kompulsif (OCD), dan psikosis.

Emile Durkheim, satu-satunya ahli tertua yang mengemukan soal bunuh diri. Dalam sebuah buku yang mengulas soal bunuh diri atau suicide, Emile bisa jadi sangat benar, bahwa bunuh diri adalah bagian dari sebuah masalah sosial.

Orang-orang yang mengambil jalan pintas mengakhiri hidup, kata Emile, cenderung sangat berbanding terbalik dengan usaha sebagian besar manusia yang berusaha agar berumur panjang.

Tesis yang paling mendekati apa yang sudah diramalkan Emile adalah Egoistic Suicide.

Itu merupakan bunuh diri yang terjadi karena adanya integrasi sosial yang terlalu lemah. Hubungan sosial yang dilakukan dalam masyarakat atau sebuah kelompok yang dimilikinya tidak begitu mengikat.
Pendapat lain misalnya, Humsona (2004, h. 60) mengemukakan bahwa bunuh diri merupakan tindakan merusak diri sendiri yang berakibat pada kematian.

BACA JUGA:  Pesan Sejuk Pj Gubernur NTT: Pilihan Politik Boleh Beda, Tapi Kita Tetap Bersaudara

Sedangkan, menurut Reber & Reber (2010, h. 948) definisi bunuh diri, yaitu seseorang yang dengan niatan dan kesengajaan membunuh dirinya sendiri atau melakukan tindakan mengambil nyawanya sendiri.

Gereja dan Kita

Sebagai kelompok mayoritas di NTT umumnya dan Kota Kupang khususnya, Gereja tidak boleh diam dan menganggap sepele persoalan kesehatan mental dan bunuh diri.

Sebab, Gereja sendiri memiliki peran yang sangat fundamendal. Gereja tidak hanya sebatas mengajarkan soal moral dan moril, kehidupan yang layak sesuai dengan ajaran Kitab Suci juga soal mengenai apakah kehidupan orang-orang disekitarnya mengalami apa yang dinamakan tentram atau tidak.

Mengukur peran gereja dalam kasus kesehatan mental di Kota Kupang adalah dengan cara memeriksa tindakan nyata mengatasi soal masalah kesehatan mental yang dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius belakangan ini.

Dalam banyak sumber dijelaskan bahwa sebetulnya, Alkitab tidak secara eksplisit menyebutkan istilah “kesehatan mental,” namun banyak ayat yang menggambarkan kesejahteraan emosional dan mental individu.

Dalam Kitab Suci misalnya, kesehatan mental mencakup keseimbangan antara pikiran, perasaan, dan hubungan dengan Tuhan.
Alkitab mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk utuh yang terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh (1 Tesalonika 5:23). Oleh karena itu, kesehatan mental sangat erat kaitannya dengan kesehatan fisik dan spiritual.

Secara eksplisit, memang tidak ada pengajaran Yesus yang menyampaikan hal terkait “kesehatan mental”. Tetapi lewat ajaran dan juga tindakan-Nya, Yesus menunjukkan kepeduliannya terhadap aspek kesehatan mental.

Dari kisahnya sendiri, Yesus sering berinteraksi dengan orang-orang yang mengidap isu kesehatan mental. Yesus tidak hanya menyembuhkan mereka dari penyakit fisik, tetapi juga mengembalikan kesejahteraan mental mereka.

Misalnya, kisah Yesus menyembuhkan orang yang kerasukan roh jahat di wilayah Gadara (Markus 5:1-20). Yesus mengusir roh jahat yang menyiksa orang tersebut, mengembalikan kesehatan mental dan emosionalnya.
Kasus lain, ketika Yesus menghibur Marta dan Maria yang sedih karena kematian saudara mereka, Lazarus (Yohanes 11:1-44). Yesus menunjukkan belas kasihan dan empati, serta memberikan harapan dengan menghidupkan kembali Lazarus.

Lain ladi, Yesus mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan roh. Ia sering menyampaikan pesan yang menggugah pikiran dan hati orang-orang yang mendengarkan-Nya, seperti kisah tentang Bapa yang Pengasih (Lukas 15:11-32) dan kisah tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25-37).

Catatan-catatan diatas sesungguhnya mengetuk sekaligus menggugah gereja agar tidak memandang kesehatan mental dan jalan bunuh diri di Kota Kupang sebagai sesuat yang tidak penting.

Gereja, harus dimulai dengan tindakan dan aksi yang nyata, melakukan pendekatan ke berbagai masyarkaat agar setidaknya, kebersamaan dan pengambilan jalan pintas mengakhiri hidup adalah hal yang tidak boleh. Minimal, sesuai dengan ajaran Yesus Kristus soal mencintai hidup.

Dialog-dialog dalam gereja dan komunitas yang saling berkaitan harus segera dimulai.
Gereja harus mengambil peran sebagai sebuah lembaga yang hadir untuk menyembuhkan batin umatnya. Ini dilakukan dengan membuka ruang dialog yang serius dengan semua umat.

Memberikan penyadaran setiap kali pertemuan bahwa mengakhiri hidup dengan jalan pintas, menjaga kesehatan mental, dimulai dari keluarga adalah seuatu yang sangat penting.
“Manusia seperti apa yang diharapkan, tentunya yang berintegritas dan itu hanya mungkin dibina melalui pendidikan.” (Penulis: Emanuel Terong Krova – Fransiscus Go, Media Indonesia 9 Mei 2023).

Penulis: Eman Krova