Opini  

Merayakan Pendangkalan

Penulis (tengah) bersama teman-teman komunitas (Foto: Dok Penulis)

Oleh : Honing Alvianto Bana

Burung berkicau pagi hari. Tawa terpingkal menghibur diri. Perbincangan dilakukan tanpa substansi. Yang ada hanya upaya untuk menghias pagi hari.

Ada yang indah ketika kita tidak lagi berfokus pada substansi. Ada yang indah ketika kita merayakan apa yang tampak, tanpa berpikir tentang esensi. Beberapa orang bilang itu pertanda krisis. Beberapa orang lainnya bilang, itu tanda kelahiran gaya hidup baru. Gaya hidup yang merayakan kedangkalan.

Yang tampak

Berabad-abad orang mencari esensi. Yang mereka temukan adalah abstraksi konseptual. Para filsuf mencari hakiki. Para ilmuwan mencari hukum-hukum abadi.

Kini semua itu terlupakan. Yang lahir adalah modifikasi apa yang di permukaan. Orang lupa akan esensi. Orang lupa akan hukum-hukum abadi.

Di Indonesia, banyak orang alergi dengan esensi. Orang anti dengan kedalaman. Yang dirayakan adalah apa yang tampak. Yang diagungkan adalah permukaan.

Pola berpikir mendalam dianggap sebagai elitis. Semuanya digampangkan. Tradisi lenyap ditelan keadaan. Orang-orang tua berteriak tentang akhir zaman.

Orang mencintai permukaan. Mereka tidak peduli tentang apa yang ada di belakang semua itu. Orang tidak lagi membedakan apa yang sejati dan apa yang semu. Semua melebur di dalam lintasan ruang dan waktu.

Di Indonesia, apa yang tampak selalu mengorbankan apa yang sejati. Kedangkalan dan kebodohan dianggap lebih berharga daripada kedalaman maupun kesejatian.

Pembalikan Nilai-nilai

Yang terjadi adalah pembalikan. Apa yang permukaan menjadi apa yang sejati. Yang esensi dianggap sebagai tidak asli. Secara perlahan yang esensial menyelinap didalam ketiadaan.

Inilah yang tepat terjadi di Indonesia. Yang esensial tidaklah lenyap, melainkan berganti muka. Yang esensial adalah yang permukaan. Yang esensial adalah apa yang tampak.

Kesejatian diri disamakan dengan jumlah kekayaan material. Kebahagiaan disamakan dengan jumlah saham dan deposito. Kedewasaan disamakan dengan cara berpakaian. Harga diri disamakan dengan tipe handphone yang digunakan.

Yang esensi melebur dengan yang eksistensi. Pembedaan keduanya tak lagi bermakna di jaman ini. Sikap displin dan serius digantikan dengan humor dan tawa. Permenungan mendalam atas suatu peristiwa kini menjadi langka.

BACA JUGA:  Saat Melki-Jhoni 'Dibekingi' Jokowi-Prabowo

Merayakan Kedangkalan

Ada dua analisis atas gejala ini. Yang pertama mengatakan bahwa ini adalah krisis peradaban yang perlu diratapi. Yang kedua mengatakan bahwa ini adalah gejala lahirnya gaya hidup baru yang perlu untuk dirayakan. Masyarakat kita terbelah di dalam dua kelompok itu.

Yang pertama meratapi perubahan. Sikap pesimis tercium di udara. Krisis menjadi wacana utama. Tak pelak lagi orang berteriak dengan kematian moralitas dan akhir jaman.

Di Indonesia kalangan pemuka agama berada di kelompok ini. Mereka menyatakan keprihatinan mendalam yang mengikis diri. Argumen-argumen moralis keluar dari mulut mereka. Di balik semua ini bercokol rasa
ketidakpercayaan diri.

Yang kedua merayakan perubahan. Mereka merayakan pembalikan nilai-nilai yang mengguncang keseharian. Humor dan tawa mewarnai hari-hari. Tindakan diwarnai dengan optimisme diri.

Di Indonesia mereka adalah orang-orang progresif yang mengedepankan perubahan. Para seniman, budayawan, dan intelektual tercakup di dalamnya.

Pembalikan nilai-nilai bukanlah tabu, melainkan bukti, bahwa sejarah bekerja. Krisis dimaknai sebagai kesempatan untuk bergerak ke depan.

Yang sesungguhnya terjadi adalah esensi tidak menghilang. Esensi hanya berganti wajah. Ia menyelinap di dalam permukaan, dan membuatnya berwarna serta bermakna. Sejarah tidak berubah, melainkan hanya berganti muka.

Para pemuka agama tak perlu khawatir, karena peradaban bergerak ke arah keseimbangan. Tradisi tidak lenyap melainkan menemukan wajah baru yang lebih relevan. Para seniman, budayawan, dan intelektual merayakan kedangkalan, karena mereka menemukan kesejatian terselip di dalamnya. Keduanya berpelukan tanpa bisa sungguh dibedakan.

Kita hidup di era paradoks, di mana kedangkalan adalah sesuatu yang perlu dirayakan, sama seperti kita merayakan kesejatian.

Tentang Penulis
Honing Alvianto Bana, lahir di kota Soe – Nusa Tenggara Timur. Saat ini ia sedang aktif di Komunitas Embun Molo dan Pokja OAT Nausus.