Literasi Digital Kunci Menangkal Hoax

Seminar literasi digital yang digelar secara virtual / Foto: Yhono Hande

Ruteng, KN – Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo RI) menggelar seminar virtual literasi digital dengan tema “Berkreasi dengan Landasan Etika Digital”  di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT, pada Selasa 12 Oktober 2021.

Seminar itu dibuka oleh Direktur Tata Kelola dan Kemitraan Komunikasi Publik Kemkominfo RI Hasyim Gautama. Hadir juga beberapa narasumber berkompeten dalam seminar virtual itu.

Dalam sambutannya, Kemkominfo RI melalui Hasyim Gautama menyampaikan bahwa literasi digital sangatlah penting dalam mendukung segala kegiatan.

“Konsep literasi digital bukan hanya mengenai kemampuan untuk membaca saja, melainkan juga membaca dengan makna dan mengerti,” kata Hasyim Gautama.

Menururnya, literasi digital juga berkaitan dengan dengan kemampuan untuk memahami informasi, mengevaluasi, dan mengintegrasi informasi tersebut dalam berbagai format yang disajikan dalam komputer. Termasuk dapat mengevaluasi dan menafsirkan informasi secara kritis.

Sementara Dr. Marianus Mantovanny Tapung, S.Fil., M.Pd dalam materinya menekankan pentingnya memiliki etika dalam berdigital.

“Sebenarnya etika itu dimunculkan dalam banyak hal, norma dan segala macam, untuk mengatur bagaimana hubungan kita dengan orang lain di dunia digital atau internet itu norma hukumnya sudah ada khusus dalam UU ITE Nomor 11 Tahun  2008 ada pasal 27, 28 sampai pasal 35,” katanya.

Menurut Marianus, pasal itu memuat tentang bahaya kalau orang mengunggah konten-konten yang sifatnya asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan, berita bohong yang menyesatkan serta ujaran kebencian, sudah ada Undang-undang yang mengatur itu. Sehingga etika itu sudah diturunkan dalam bentuk hukum, hukum itu yang mengatur orang bagaimana berperilaku yang baik sebagai fungsi yang mengontrol perilaku.

“Orang sering katakan berpikir dulu sebelum disebar, saring dulu sebelum disharing. Cek situs tersebut apakah ada atau tidak, kemudian cek dengan media lainnya gunakan fake checking apa benar atau tidak. Siapa penulis dan narasumbernya, beritanya membuatmu marah atau tidak, mengumbar emosi atau tidak, dan bagaimana penulisannya,” terang akademisi Unika Santu Paulus Ruteng itu.

BACA JUGA:  Kado Manis Melki Laka Lena di Ujung Jabatan DPR RI, Dua RSUD di NTT Naik Status

Pria yang akrab disapa Manto Tapung itu menjelaskan secara rinci terkait defenisi hoax. Ia menyebut hoax telah menjadi virus atau lawan dari etika. Hoax adalah kepalsuan yang sengaja untuk diakui sebagai kebenaran. Kemudian berdasarkan hasil survei, muncul klasifikasi hoax.

Berdasarkan survei, responden menyampaikan, hoax itu berita bohong yang disengaja, berita yang tidak akurat, berita ramalan, dan berita yang menyudutkan.

“Dari mana hoax itu menyebar? Pertama paling besar itu dari media sosial, aplikasi chat, situs web, televisi, media cetak, email, dan radio. Maka dari itu perlu dilakukan fake checking artinya kalau dapat dari media sosial maka perlu cek di media cetak, muncul atau tidak berita tersebut supaya menguji validitas dari berita yang kita baca,” jelasnya.

Ia menambahkan, berita media atau informasi yang didapat dari media sosial merupakan pertarungan ideologi. Sebuah berita media adalah produk dari kontestasi kepentingan atau konflik kepentingan dari para pihak.

“Di mana setiap media diarahkan pada kepentingan ideologi politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain dari orang atau kelompok tertentu yang sengaja dibuat supaya bisa menguasai kelompok seseorang atau kelompok tertentu, supaya ideologi politik, ekonomi, budaya yang mereka anut bisa dianuti juga oleh orang lain,” tambahnya.

Turut hadir sebagai narasumber, Pakar Ilmu Komunikasi Dr. Jonas Klemens Gregorius Dori Gobang, MA, Dosen sekaligus Akademisi Dr. Hendrikus Pedro, S.Fil., MA serta content creator Ronsi Geronsiyono. Kemudian MC dan Moderator Margareta Febriana Rene.

Diketahui juga seminar virtual itu diikuti oleh 300 peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. (*)