Opini  

COVID-19 dan Virus Korupsi

Leo de Jesus Leto

Oleh: Leo de Jesus Leto
(Warga NTT, Tinggal di Chile
)

Sudah setahun lebih hidup kita diburu oleh Covid-19. Tercatat bahwa virus kejam asal Wuhan itu telah menelan jutaan nyawa manusia dan menyebabkan patologi sosial lainnya tumbuh di tengah kehiduapan kita. Misalnya, krisis ekonomi, jutaan orang kehilangan lapangan pekerjaan, kelaparan dan seterusnya. Ya, gara-gara Covid-19 kehidupan kita menjadi jauh lebih rumit dan kompleks. Monster haus darah itu memang sangat destruktif. Semua negara termasuk Indonesia telah dan sedang berupaya keras untuk menghentikan dan memusnahkannya melalui sejata vaksin. Dalam konteks Indonesia setelah adanya amunisi vaksin, angka orang terinfeksi dan meninggal akibat Covid-19 bukannya menurun, malah justru melanggeng bebas ke puncak kurva. Pertanyaannya ialah mengapa kasus Covid-19 di tanah air menjadi tinggi sesudah adanya vaksin? Jangan-jangan vaksinnya yang tidak mujarab? Atau jangan-jangan rakyat tak menghiraukan protokol kesehatan dan keras kepala untuk divaksin? Atau jangan-jangan proses pelaksanaan vaksin di lapangan tersendat dan berbelit-belit? Mungkin.  

Masih brutalnya serangan Covid-19 mau memberi tahu kita bahwa viruscorona masih terlalu kuat untuk ditaklukkan dari atas arena kehidupan manusia. Mungkin saat ini virus brengsek itu sedang duduk manis di atas takhtanya. Ia sedang bermain game sembari menghisap rokok dan meneguk seloki anggur, lalu tertawa sinis melihat kegagalan manusia dalam upaya untuk membunuhnya. Dalam menghadapi serangan mematikan Covid-19 yang kian masif di Indonesia, pada awal Juli lalu Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan terbarunya, yaitu PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Ini adalah kebijakan pemerintah yang lebih ketat daripada kebijakan sebelumnya untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Kita patut memberi apresiasi terhadap kebijakan tersebut. Tapi, pertanyaannya ialah mengapa kebijakan “terbaik” tersebut tidak dikeluarkan sejak awal pada saat terdeteksinya kasus Covid-19 di tanah air? Seandainya kebijakan itu sudah diterbitkan waktu itu, maka mungkin saja viruscorana tak akan berfoya-foya memburu kita seperti saat ini.

Kehadiran Covid-19 membuat semua pihak pusing kepala bukan main lantaran diam di rumah saja, sulit mencari uang, orang miskin makin susah, mau ke mana-mana mesti tes PCR dengan harga selangit dan lain-lain. Melongok komplikasi hidup rakyat di zaman pandemi, negara tak pernah duduk diam. Pemerintah mengucurkan bantuan sosial (bansos) triliunan rupiah untuk membendung rakyatnya agar tak jatuh ke dalam jurang kelaparan, kemiskinan yang lebih dalam dan tentu saja supaya rakyat luput dari sengatan viruscorona. Eh, sayangnya, tangan tuan-tuan pejabat yang mengatur bantuan itu slintat-slintut membocorkan aliran bansos di tengah jalan.

Sebut saja mantan Menteri Sosial Juliari P. Batubara (JPB) yang dipercayakan untuk menangani dana bansos tega menggasak hak wong cilik yang selalu ia bela sebelumnya. JPB tak sendirian terinfeksi virus korupsi, tenyata kawannya dalam Kabinet Jokowi Edy Prabowo (EP) sudah lebih dulu terinfeksi virus korupsi. Bukan hanya JPB dan EP saja, masih banyak lagi tuan-tuan pejabat kita yang terinfeksi virus korupsi di zaman pandemi ini. Kedua mantan pembantu Jokowi itu bukan orang-orang biasa, tapi dua tokoh luar biasa dalam partainya masing-masing yang selalu mengatakan anti terhadap praktik korupsi di republik tercinta. Namun, sialnya EP dan JPB lupa diberi obat vaksin antikorupsi akibatnya mereka sendiri terinfeksi virus korupsi. Sungguh ironis dengan nilai-nilai Pancasila yang mereka bahanakan selama ini. Masifnya drama praktik korupsi dalam panggung politik republik di tengah pandemi Covid-19 membenarkan tesis Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 2019 lalu bahwa korupsi di Indonesia ibarat penyakit kanker yang sudah stadium empat. Eh, tak disadari anak emas Prabowo Subianto EP juga ternyata mengindap penyakit kanker tersebut.   

Pada titik ini, kita boleh mengajukan sebuah pertanyaan serius berikut ini. Mengapa tuan-tuan pejabat kita yang telah memiliki segalanya, hidup mereka dijamin secara sempurna oleh negara masih ingin menggasak hak wong cilik yang secara kuantitatif tidak layak dan menghina martabat mereka sebagai pejabat tinggi negara? Barangkali jawaban sederhananya ialah karena korupsi itu enak. Kalau Prabowo Subianto mengibaratkan korupsi itu sebagai penyakit kanker, maka kita mesti memakai logika terbalik bahwa praktik korupsi itu bisa dikategorikan ke dalam jenis virus yang “baik”. Lah, memangnya ada virus yang baik? Ya, korupsi itu bisa dibilang virus yang baik. Ia sangat berbeda dengan viruscorona. Kalau Covid-19 cederung ditakuti dan dihindari oleh manusia lantaran ia kejam, buas dan racunnya mendatangkan penderitaan serta kematian, maka virus korupsi itu sebaliknya. Ia baik lantaran membawa sesuatu yang enak atau kenikmatan bagi mereka yang dihinggapinya. Uang hasil korupsi bisa dipakai untuk belanja barang-barang mewah seperti jam tangan Rolex di luar negeri, lho. Enak, kan? Karena itu, tidak heran tuan-tuan pejabat dan kaum elit sangat menyukai virus jenis yang satu ini.

BACA JUGA:  Alternatif Demokratisasi di Tengah Pandemi Dalam Pemilihan Kepala Desa Secara Digital

Namun demikian, kebaikan virus korupsi itu cukup terbatas hanya kepada mereka yang dihinggapinya. Bagi publik, secara moral ia buruk dan destruktif. Sebab itu, hukum dengan keras melarangnya untuk eksis dan rakyat terus berteriak menentang keberadaannya. Pertanyaan berikutnya ialah mengapa dalam kanca perpolitikan Indonesia tidak pernah sepi dari drama korupsi? Apa yang menyebabkan tuan-tuan pejabat bergaji tinggi, hidup kaya dan serba mewah masih nekat “bodoh” melakukan korupsi? Menurut Isa Wahyudi terdapat beberapa sebab manusia terdorong untuk melakukan korupsi antara lain: sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, gaya hidup konsumtif dan tidak mau (malas) bekerja keras (Isa Wahyudi: 2007). Melolok realitas politik di dalam republik yang masif dengan praktik korupsi, kita tentu sepakat dengan Isa Wahyudi bahwa virus korupsi itu lahir karena empat hal tersebut.

Jauh sebeulumnya, Karl Marx (1818) sudah menghimbau kepada siapa saja yang terlibat dalam permainan di atas panggung politik. Pemikir ateis itu menulis sebuah frasa yang cukup menarik seperti berikut ini: “Untuk mencapai tujuan tertentu dalam politik, orang boleh berkawan dengan setan … hanya orang harus memiliki kepastian bahwa orang menipu setan itu, bukan sebaliknya” (Vox: 2011). Kalau tidak keliru esensi dari politik itu ialah demi kebaikan umum dan kesejahteraan publik, bukan untuk kepentingan pribadi dan konco-konco. Plato dan Aristoteles sendiri mendefinisikan politik sebagai usaha untuk menggapai kehidupan yang baik. Mereka menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life (Miriam Budiardjo: 2007). Tapi, realitas politik dewasa ini cukup berbeda dari the good of life. Sebab itu, tidak heran publik sering merumuskan secara baru term politik itu sebagai sesuatu yang najis dan keras.

Sebagai seorang pemikir besar, Marx tentu tahu baik sekali makna dan tujuan dari politik. Barangkali Marx melihat situasi politik pada masanya telah melenceng jauh dari tujuan hakiki politik. Oleh karena itu, kendatipun ia tidak berminat sama sekali pada soal-soal agama, tetapi nurani mendesaknya untuk mengingatkan kepada siapa pun yang berpartisipasi dalam politik boleh bergaul dengan setan hanya saja mereka mesti lihai untuk menipu dan menggiring si setan kepada jalan kebaikan. Apakah dalam konteks politik Indonesia, para politisi dan pejabat kita bergaul pula dengan setan untuk mencapai tujuan mereka dalam politik? Lah, tentu saja. Hanya saja, sialnya bahwa tidak semua politisi dan kaum elit memiliki basis yang kokoh untuk menipu setan dan membawanya kepada jalan kebaikan. Sebaliknya, setanlah yang berhasil menipu dan menggiring mereka ke dalam perangkapnya. Maraknya praktik korupsi di republik ini menunjukkan bahwa tuan-tuan pejabat kita yang suka korup bergaul dengan setan. Mereka tertipu oleh rayuan setan dengan lembaran-lembaran Rupiah yang menggiurkan mata dan hati. Nah, ketika mata mereka melihat umpan enak tersebut tak sungkan-sungkan dana bansos Covid-19 untuk rakyat yang sedang menderita dan merintih pun dilahapnya tanpa pertimbangan moral dan kemanusiaan bahwa wong cilik sangat membutuhkannya untuk menyambung hidup di tengah kerasnya kehidupan di masa pandemi ini. Lebih ironisnya lagi drama penjeratan hukum terhadap tuan-tuan penggasak bansos itu divonis ringan-ringan saja. Sampai pada titik ini, jargon revolusi mental menjadi relevan dan mendesak. Kiranya kita selalu waspada di masa pandemi ini agar tidak terinfeksi Covid-19 dan virus korupsi.*