Ende, KN – Rapat Dengar Pendapat bersama Pemda Ende terkait penanganan kasus Covid-19 di Kecamatan Maurole dan Datukeli, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur merupakan upaya untuk menjatuhkan rezim kepemimpinan Bupati Djafar Ahmad.
Pernyataan tersebut disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Samsudin, SE, dalam RDP bersama Perintah Daerah Kabupaten Ende, Jumat 1 Juli 2021.
Pernyataan Samsudin, kemudian mendapatkan beragam tanggapan dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ende.
Mahmud Djegha, anggota DPRD Partai Demokrat, menegaskan, RDP yang dilakukan bersama Pemda bukan untuk menyalahkan pihak manapun. Namun, karena keresahan masyarakat terkait proses penanganan Covid-19 yang dinilai tidak efektif.
“RDP hari ini merupakan bagian dari menjalankan fungsi kontrol kami sebagai wakil rakyat yang telah diamanatkan oleh UU atas kerja Pemda yang dinilai masih kurang. Sehingga kami mendorong agar lebih maksimal lagi, agar dapat menemukan solusi penyelesaianya, bukan upaya untuk menjatuhkan rezim ini,” jelas Mahmud Djegha.
Menurutnya, aksi demonstrasi yang dilakukan PMKRI beberapa waktu lalu juga bukan merupakan upaya untuk menjatuh rezim kepemimpinan Djafar Ahmad sebagai Bupati Ende.
Namun PMKRI sebenarnya sedang menjalankan perannya sebagai organisasi yang memiliki hak untuk menyampaikan pendapat, ide, maupun pandangan terhadap kinerja pemerintah yang dinilai kurang maksimal dalam penangana Covid-19.
“Jadi, jika ada pernyataan bahwa RDP hari ini sebagai upaya menjatukan rezim yang sah, saya kira ini sangat berlebihan,” ungkap Mahmud Djegha.
Dia menambahkan, pada kenyataan, Pemerintah Kabupaten Ende memang tidak menjalankan roda kepemerintahan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi bukan tidak mungkin upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan. Karena kekuasaan terbesar sepenuhnya ada di tangan rakyat,” ucap Mahmud.
Sementara Ketua Komisi III DPRD Ende, Finsensius Sangu, menuturkan, landasan hukum bagi DPRD adalah UU No 17 tahun 2014 tentang MD3 dan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
“Jadi apa yang kami lakukan hari ini merupakan perintah undang-undang, ” tegas Finsen.
Ia mengaku tidak mempersoalkan oknum yang mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena memang semua orang bebas berpendapat, dan itu merupakan pedapatnya.
“Bagi saya, itu sah-sah saja. Tetapi ini merupakan salah satu upaya menjalankan fungsi yang diamanatkan undang-undang sebagai wakil rakyat,” terangnya.
Dia menjelaskan, dalam menjalankan fungsi kontrol, DPRD diberi kewenangan untuk melihat, menilai, mengoreksi dan mendorong Pemerintah Daerah atas kerja nyata yang dilakukan.
“Sehingga hari ini merupakan terjemahan dari amanat Undang-undang tersebut. Karena tugas utama kami berbicara, maka hari ini kami memanggil pemerintah untuk membicarakan persoalan yang sedang ramai diperbincangkan publik. Seperti penaganan Covid-19 di dua Kecamatan, yang viral di beberpa media lokal maupun media nasional,” tegasnya.
Dengan adanya RDP, kata Finsensius, pihaknya berharap agar Pemda Ende jangan anti pati dan melihatnya sebagai upaya untuk menjatuhkan rezim kepemimpinan bupati Djafar Ahmad
“Tapi ini merupakan upaya perbaikan bersama atas kerja yang dilakukan Pemeritah Daerah untuk kepentingan masyarakat Kabupaten Ende, sehingga persoalan pandemi Covid-19, bisa segera diatasi,” papar Finsen. (*)